Menyambung Nasib Bangsa di Ujung Jari Anak Muda
Sederet alasan dapat dikemukakan untuk menjawab mengapa anak muda gagal menjadi aktor penentu. Kecuali segelintir yang diwarisi legasi.
Oleh: Tamsil Linrung
Wakil Ketua MPR RI dan Senator DPD RI
TRIBUN-TIMUR.COM -- Republik menyabung masa depan melalui keputusan politik anak muda di bilik suara.
Kendati menempati posisi krusial dalam konstalasi politik, kita belum melihat peran pemuda secara konseptual merumuskan arah bangsa.
Generasi milenial dan generasi Z tidak berada di pusaran hiruk pikuk yang menabuh gendang, mengatur ritme pesta politik lima tahunan.
Anak-anak muda cenderung mengikuti irama aktor elit yang didominasi oleh kelompok kepentingan.
Kaum status quo. Mereka yang bertualang dari pemilu ke pemilu, demi mempertahankan posisi. Meski tanpa kontribusi.
Sederet alasan dapat dikemukakan untuk menjawab mengapa anak muda gagal menjadi aktor penentu. Kecuali segelintir yang diwarisi legasi. Menerima mahkota dari trah keluarga. Baik di partai politik, maupun di pemerintahan.
Di antara alasan itu, antara lain karena tumbuhnya apatisme. Alih-alih mengembangkan partisipasi politik kritis, sebagian besar anak muda justru disinyalir apatis terhadap isu sosial dan politik. Ada kesenjangan digital yang memicu kontradiksi di kalangan anak muda.
Meski anak muda kenyang dengan aneka asupan informasi, namun hanya tercatat 32,67 persen yang percaya kepada partai politik. Beberapa hasil riset menemukan alasan tumbuhnya apatisme tersebut. Antara lain, karena kaum muda menilai partai politik atau politisi belum berhasil mewakili aspirasi masyarakat.
Kelompok milenial dan gen Z kritis tak jarang menjelma sebagai sosok-sosok antidemokrasi militan. Mereka apriori dan sinis terhadap isu-isu sosial politik.
Sibuk mengikuti arus trend life style, hiburan, dan hal-hal yang terkait kesenangan pribadi. Menanggalkan peran sebagai warga negara dan komunitas masyarakat yang mestinya peduli pada situasi di sekitarnya.
Gejala apolitis ini justru dimanfaatkan oleh kelompok oportunis petualang politik. Mereka mulai membangun sistem feodal atau kekerabatan di parpol. Puncaknya, tata kelola negara diseret-seret ke dalam kultur feodal tersebut. Dinasti politik menjamur. Muncul raja-raja kecil dari pusat hingga ke daerah.
Daya rusak yang ditimbulkan sangat sistemik. Karena budaya nepotisme mulai dianggap wajar, maka kesetaraan peluang tertutup. Akses terhadap kesempatan dibatasi di lingkaran kroni.
Kalau anda bukan anaknya pejabat, atau tidak punya orang dalam, maka anda jadi warga berkasta sudra. Tidak dihitung dalam pelayanan dan kebijakan publik. Itu realitas pahit kehidupan sosial politik yang harus kita akui telah menjadi wabah di negeri ini.
Akibat apatisme, berpangku tangan dan enggan mengambil peran, maka anak muda dipandang sebatas sebagai market politik semata. Dieksploitasi. Dibungkam dengan cara menyenangkan.
Blak-blakan Angelina Sondakh Soal DPR: Permainan Kekuasaan Permainan Kepentingan |
![]() |
---|
3 Putra Sulsel Pegang Jabatan Mentereng di DPR, Terbaru Rusdi Masse |
![]() |
---|
Bukti Rusdi Masse Batal Hengkang ke PSI, Ahmad Sahroni Tumbal Usai Blunder 'Orang Tolol Sedunia' |
![]() |
---|
Profil Rusdi Masse Gantikan Posisi Ahmad Sahroni di Komisi III DPR RI Imbas Ucapan "Tolol" |
![]() |
---|
Ahmad Sahroni Dicopot dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Rusdi Masse 'Naik Kelas' |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.