Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pemilu, Demokrasi, dan Suara Kawasan Timur Indonesia

Isu terkait dengan “Kawasan Timur Indonesia”, selalu saja mucul setiap kali perhelatan politik dilaksanakan, terutama pada pemilihan presiden.

|
Editor: Ari Maryadi
Tribun Timur
Amir Muhiddin Dosen Fisip Unismuh dan Sekretaris Devisi Politik Pemerintahan ICMI Sulsel 

Catatan dari Diskusi ICMI Sulsel seri ke-5
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh/Sekretaris Devisi Politik Pemerintahan ICMI Sulsel

TRIBUN-TIMUR.COM -- Isu terkait dengan “Kawasan Timur Indonesia”, selalu saja mucul setiap kali perhelatan politik dilaksanakan, terutama pada pemilihan presiden (Pilpres).

Pemilu kali ini, isu itupun muncul kembali dan dianggkat oeh ICMI Sul-Sel sebagai bahasan diskusi Mingggu (17/923) melalui zoom meeting.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Devisi Politik dan Pemerintahan seri ke 5 ini dipandu oleh moderator Dr. Basti Tentteng, psikolog Universitas Negereri Makassar, dengan thema “Pemilu, Demokrasi dan Suara Kawasan Timur Indonesia” Dr. Adi Suryadi Culla yang membuka acara mengemukakan bahwa thema ini sengaja diangkat sehubungan dengan munculnya kembali suara dari timur tentang ketidak adilan politik dan ekonomi.

Menurutnya memang ada problem yang dihadapi secara nasional terkait dengan kawasan Timur terutama kebijakan pembangunan, pemerataan dan kesenjangan, baik kesenjangan infrasturuktur , Kesenjangan sumber daya manusia, demikian juga kesenjangan politik, dimana keterwakilan Timur jauh lebih sedikit dibanding Barat. Bahkan pemilu tahun 2024 ini kembali akan melahirkan kesenjangan, dimana utusan daerah dan keterwakilan politik akan didominasi oleh barat.

Ini adalah realitas dan bisa dibayangkan bahwa geo politik dan penganbilan keputusan itu pasti didominasi lagi oleh Barat.

Sumber Daya Manusia

Meski alamnya subur, tetapi sumber daya manusia kita terbatas, baik jumlah maupun kualitas termasuk pemilih dan wakil-wakil yang akan kita pilih, dan ini mempengaruhi pengambilan keputusan politik, baik dilegislatif maupun di eksekutif.

Menurut Prof. Nurliah Nurdin yang tampil sebagai pembicara pertama mengemukakan bahwa terdapat tiga hal yang penting jika kita berbicara tentang election kaitannya dengan keterwakilan kawasan Timur Indonesia. yang pertama tentang pemilih, yang kedua tentang wakil-wakil yang kita pilih dan ketiga keterwakilan semua kelompok masyarakat, termasuk kawasan Timur Indonesia.

Yang pertama tentang pemilih, apakah mereka berpartisipasi atau dimobilisasi. Kalau berpartisipasi tentu saja mereka memilih berdasarkan rational chois dan ketulusan, bahwa mereka memilih bukan karena faktor sosiologis misalnya satu asal kota. desa, sama idiologi dengan preferensi agama atau faktor psikologi karena geopolitik (Wilayah Barat dan Timur).

Rational choice, menurut Ketua STIA LAN ini tentu saja berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia, terutama IPM (pendidikan, kesehatan dan pendapatan).

Ini penting karena IPM ada hubungannya dengan partisipasi bukan mobilisasi karena uang (money politic).

Selanjutnya, apakah yang dipilih bisa dipercaya dan dipastikan hadir menyurakan keinginan, harapan-harapan politik termasuk kesejahteraan mereka. bahwa election itu adalah mandat agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah sejalan dengan keinginan masyarakat, bukan keinginan pemerintah saja atau kepentingan pengusaha.

Menurutnya ada indikasi bahwa selama ini, legislatator yang terpilih seringkali lebih mementingkan suara partai dibanding dengan suara rakyat, dan celakanya lagi bahwa mereka yang ada di partai adalah pengusaha atau banyak dikendalikan oleh pengusaha. Election itu lanjutnya adalah memilih pemimpin, bukan membeli barang.

Memilih pemimpinan itu adalah memilih orang-orang yang akan mengurus kepentingan masyarakat minimal lima tahun lamanya. Tidak seperti membeli hand phon yang kalau kita tidak senang bisa saja diganti, hari ini atau bulan depan, tetapi memilih pemimpin itu lamanya waktunya.

Pendidikan dan Kesejahteraan.

Masih terkait dengan sumber daya manusia, Prof Hamid Paddu yang tampil sebagai pembicara kedua mengemukakan bahwa seharusnya semakin baik pendapatan suatu negara, itu akan mendorong tumbuhnya demokrasi di wilayah itu, suara ekonominya, suara politiknya, dan suara passionnya terdengar.

Oleh sebab itu pendidikan harus selalu mendapat perhatian agar main set masyarakat semakin berkembang, dan pilihan-pilihan politinya akan semakin menganrah kepada rational choice.

Namun demikian pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah masih jauh dari harapan, ketimpangan antara timur dan barat dalam banyak aspek masih sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang sering disebut berhasil dengan 5 persen ternyata tidak memberi efek secara inklusif karena abai terhadap pemerataan.

Pertumbuhan hanya didorong dan dinikmati oleh segelintir orang yang jumlahnya hanya 2 persen, selebihnya mengalami stagnasi dan itu banyak dirasakan oleh penduduk di kawasan timur. Pendidikan dan pendapatan yang rendah di kawasan timur tentu akan mempengaruhi suara dan refresentase keterwakilan politik baik kualitas maupun kuantitas.

Selain fakto ekonomi yang memicu pertumbuhan demokrasi, krisis politik juga demikian halnya, artinya, setiap selesai krisis ekonomi berdasrkan banyak pengalaman di negara lain, seharusnya menjadi memantif lahirnya demokrasi, sayangnya kita tidak demikian, beberapa krisis yang terjadi, terakhir di tahun 1998, ternyata tidak disertai dengan tumbuhnya demokrasi , otonom idaerah sebagai bagian dari desentaralisasi politik dan piskal malah semakin cenderung sentralistik.

Prof Laode Kamaluddin yang tampil sebagai pembicara ketiga mengemukakan bahwa, Indonesia jauh tertinggal dari Barat. Menurut beliau membangun demokrasi tanpa membangun human resouches akan melahirkan ketimpangan, Demokrasi tanpa pendidikan, kualitas demokrasinya tidak bisa terlalu diharap.

Mandela, presiden Afrika Selatan menurut beliau, bahwa pendidikanlah yang bisa merubah dunia ini, demokrasi yang terbangun selalma ini lanjut beliau adalah demokrasi elit, demokrasi dalam bentuk pemilu, baru sebatas procedural belum subtatntif, kualiats dan kapasitas demokrasi rendah sekali.

Prof Laode yang mewakili ICMI Pusat memberi contoh bahwa Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke 15, ketika mulai membangun yang diperhatikan adalah kesehateraan khususnya di pedesaan karena memang AS adalah negara kontinental, berbeda dengan kita 70 persen laus wilayah kita adalah laut, dan 30

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved