Opini
Diskursus dan Penegakan Hukum Politik Uang Dalam Sistem Pemilu
Kekuasaan dan uang seakan-akan memiliki fungsi sosial yang sama yakni suatu fungsi yang menjadi acuan cara-cara bertingkah laku memenuhi kebutuhan.
Oleh : Fauzi Hadi Lukita, S.IP, M.H
Dosen Institut Teknologi Amanna Gappa
Tindak pidana politik uang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara.
Fenomena pemilukada dihampir seluruh pelosok di Indonesia.
Kekuasaan politik menjadi linear dengan peranan uang.
Kekuasaan dan uang seakan-akan memiliki fungsi sosial yang sama yakni suatu fungsi yang menjadi acuan cara-cara bertingkah laku memenuhi kebutuhan individu, keluarga, keluarga, kelompok, masyarakat dan organisasi.
Kiranya inilah yang menjadi dasar dari realitas politik uang dalam praksis politik pemilu yang mengganggap konsepsi kekuasaan politik dalam proses politik sejalan dengan peranan uang dalam proses ekonomi.
Studi terbaru mengenai politik uang mengungkap Indonesia masuk jajaran negara dengan intensitas politik uang cukup tinggi dalam penyelenggaraan pemilu (33 persen).
Dengan rerata dunia yang 14,22 persen, Indonesia tak lebih baik dari Kenya (32persen), Liberia (28persen), Swaziland (27persen), Mali (26persen), dan Nigeria (24persen).
Studi ini membuktikan politik uang sudah menjadi laziman meski politik hukum pemidanaan terhadap politik uang kian berkembang.
Dalam demo cracy of sale. Pemilu, klientelisme, dan negara di Indonesia, menggambarkan dalam konteks electoral di tingkat lokal praktik klientelisme juga semakin menguat.
Ada bukti sahih sistem pemilu dan kepartaian hanya menghasilkan sistem politik yang mengandalkan materi untuk memperoleh kekuasaan.
Sekalipun Burhanuddin Muhtadi dalam studinya menyebutkan politik uang di konteks pemimpin eksekutif, termasuk pilkada, jauh lebih rendah ketimbang pemilu legislatif.
Dari aspek hukum, politik uang maupun candidacy buying mengalami perkembangan cukup pesat.
Pengaturan yang bertujuan memberikan penghukuman terhadap pemberi/penerima politik uang dan mahar politik seperti
mengalami kebutuhan.
Di satu sisi ada instrument hukum yang bisa menjerat pelaku, tetapi di sisi lain tidak diimbangi penegakan hukum yang memadai.
Instrumen hukum pidana atas pelanggaran dalam penyelenggaran pemilu tidak cukup efektif mengingat rumitnya proses pembuktian.
Proses hukum tak akan dilakukan tanpa disertai bukti dan terpenuhinya unsur pembuatan pidana.
Ditambah lagi batasan waktu lebih singkat yang diberikan UU untuk menyelesaikan suatu perkara pidana pemilu dibandingkan dengan pidana pada umumnya.
Proses pidana dan penghukuman yang bersifat fisik dalam perkembanganya tak lagi dianggap relevan untuk memberikan efek jera.
Tentu ini disesuaikan dengan tipikal dan jenis kejahatan atau perbuatan yang dianggap melawan hukum atau setidaknya bertentangan dengan sikap moral dalam masyarakat yang baik.
Secara materil, pemberian atau penerimaan uang sepanjang bersumber dari yang sah secara hukum, atau bukan dari hasil kejahatan, dibolehkan.
Hanya kemudian perbuatan itu menjadi dilarang karena dilakukan di waktu dan dalam masa pemilu.
Dengan demikian, muncul dua sanksi yang kemudian diancamkan ke pelaku, yakni berupa hukuman fisik (penjara) dan
diskualifikasi dari peserta pemilu.
Menurut penulis, arah pengaturan politik uang dalam pemilu seharusnya cukup dinilai sebagai perbuatan yang melanggar hukum administrasi sehingga sanksinya relevan dengan “mendiskualifikasi peserta pemilu”.
Kecuali perbuatan itu diiringi perbuatan lain yang terindikasi pidana, misalnya ada unsur paksaan, ancaman, dan sumber uang dari kejahatan.
Namun, ada dua tantangan yang mesti dijawab.
Pertama, putusan terhadap politik uang harus bersifat final, tak dimungkinkan adanya upaya hukum lain, ini sekaligus memberikan standar tinggi bagi lembaga manapun yang akan memutus perkara ini.
Kedua, perlu menghadirkan institusi yang kredibel untuk memutus perkara politik uang, atau secara lebih luas jadi bagian pengawasan dana kampanye dalam kontestasi.
Penanganan politik uang atau tindak pidana pemilu yang diberikan kepada Sentra Gakkumdu (Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan), sekilas memang ditujukan untuk memperkuat kelembagaan yang menangani tindakpidana pemilu.
Namun, dalam praktiknya keberadaan institusi kepolisian dan kejaksaan justru tak signifikan dalam mengakselerasi kinerja penegakan hukum pemilu dan cenderung menempatkan posisi Bawaslu sebagai “minoritas” dalam pengambilan keputusan.
Terbukti, ditengah maraknya politik uang yang terjadi di pilkada serentak 2020, tak satupun kasus yang bisa dinilai sebagai prestasi dalam penegakan hukum pemilu.
Bahkan, pembuktian politik uang justru ramai dibawa ke dalam sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Model kelembagaan seperti ini, memperlihatkan ketidakpercayaan publik terhadap proses penaganan politik uang yang selama ini dilakukan Sentra Gakkumdu sehingga redesain kelembagaan penanganan tindak pidana pemilu perlu dilakukan sesegera mungkin.
Menurut penulis, masalah ini dikarenkan sistem politik di Indonesia masih berbasiskan patronase dan klientalisme.
Partai politik hanya akan memilih figure dengan elektabilitas tinggi tanpa menghiraukan aspek integritas calon.
Pada titik inilah sistem pemilu seolah mengafirmasi sirkulasi korupsi politik.
Dengan demikian, tak heran jika politik uang akan selamanya menjadi “Pandemi” dalam setiap perhelatan pemilu di Indonesia.
Karena sejatinya korupsi adalah lonceng kematian bagi peradaban manusia.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.