Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan Di Kaki Langit

Koalisi Bermoral

Koalisi politik terbentuk oleh elit dan partai yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan untuk meraih kekuasaan bagi yang belum berkuasa.

Editor: Sudirman
DOK TRIBUN TIMUR
Prof M Qasim Mathar 

M Qasim Mathar

Pendiri Pesantren Matahari di Mangempang Maros

Kata koalisi semakin sering disebut akhir-akhir ini.

Koalisi bisa terbentuk, bukan hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang selain politik.

Seperti di bidang ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Koalisi politik terbentuk oleh elit dan partai yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan untuk meraih kekuasaan bagi yang belum berkuasa, atau mempertahankannya bagi yang sedang berkuasa.

Kekuasaan itu sulit diraih atau dipertahankan, kalau hanya mengandalkan diri sendiri saja.

Maka koalisi harus dibentuk. Jadi koalisi politik itu adalah baik, karena masing- masing elit dan partai mengorbankan atau menunda kepentingan diri sendiri, untuk meraih kepentingan bersama.

Karena itu, agar koalisi itu utuh dan kuat, diperlukan syarat-syarat yang disusun dan disepakati bersama oleh para elit dan partai-partai yang berkoalisi.

Memegang dan mematuhi syarat-syarat koalisi, bukan semata dinilai sebagai kepatuhan terhadap kesepakatan, tetapi itu juga disebut sebagai moral berkoalisi.

Memegang kesepakatan sama artinya bermoral yang baik. Melanggarnya sama dengan bermoral yang buruk.

Tapi, adakah moral dalam (ber)politik? Saya tak segera menjawabnya.

Sebab, bisa saja ada jawaban bahwa moral politik hanya ada di fakultas ilmu sosial politik.

Atau, dalam filsafat politik dan buku-buku ilmu sosial politik.

Adapun di dalam politik praktis, moral tidak dikenal.

Bahkan di arena politik praktis ada ungkapan: "lebih baik menang secara kotor dari pada kalah secara bersih".

Atau, "lebih baik kotor tapi menang dari pada bersih tapi kalah". Wow...!

Maka, saya temukanlah jawabannya. Yaitu, politik itu pasti bermoral.

Kalau bukan moral yang baik, tentu moral yang buruk.

Sebenarnya bagi kita suku bangsa Indonesia, nilai-nilai baik dan buruk telah kita miliki dan warisi sejak moyang kita dulu kala.

Ditambah pula, kita adalah suku bangsa yang beragama. Saya sebut kata "suku" di sini, karena faktanya memang kita berasal dari suku-suku yang berbeda.

Namun, semua suku mengenal yang baik dan buruk dari tradisinya masing-masing.

Semua suku mengenal yang baik dan buruk dalam agama dan kepercayaannya masing-masing.

Wilayah aktifitas politik, ekonomi, dan agama, menurut hemat saya, adalah wilayah-wilayah yang paling menantang, atau tegasnya, berat untuk menerapkan moral.

Ketika itulah politik kehilangan moral yang baik dan jatuh ke praktik politik yang buruk.

Maka, ketika ada elit dan partai bernafsu memonopoli kekuasaan yang mau diraih, dengan berbagai argumen, misalnya, "jangan lewatkan momentum", "politik itu dinamis... dari menit ke menit bisa berubah", dan lain-lain, terjadilah pelanggaran atas kesepakatan koalisi.

Argumen dikarang untuk melegitimasi pelanggaran atas kesepakatan koalisi.

Jadi, sesungguhnya rakyat bisa menyaksikan sendiri, siapa elit dan partai yang melanggar moral berkoalisi.

Perhatikan dan cermati moral mereka dalam berkoalisi. Jangan ditipu oleh alasan yang dikarang-karang untuk melanggar moral berkoalisi.

Bagi kita bangsa Melayu punya peribahasa: "Sekali lancung di dalam ujian, seumur hidup tidak dipercaya".

Suku Bugis punya peribahasa: "Taro ada taro gau" (ucapan sama dengan perbuatan).

Atau, "Taro ada tettaro gau" (ucapan berlawanan dengan perbuatan).

Jadi, jangan terpesona dengan kata-kata mereka yang berkoalisi.

Tapi, lihat siapa yang melanggar moral berkoalisi!(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved