Headline Tribun Timur
Akademisi Unhas: Siapapun Jadi Pj Gubernur Harus Siap Berhadapan dengan Forum Dosen
Fakta membuktikan, beberapa Pj Gubernur di Sulsel dan Sulbar mengawali masa pemerintahannya dengan suasana gaduh.
"Saya cek juga ke dekan hukum, dia bantah juga kalau SK sudah diteken. Tapi saya dapat penjelasan dari Prof Aswanto bahwa belum ada infonya, nama baru diusul ke kemendagri," kata Prof Amir.
Dia melanjutkan, ada tiga nama yang Prof Aswanto sebut. Yaitu namanya sendiri , Pak Bahtiar dan satunya dia belum tahu, apakah Komjen Nana atau Rifai atau Jufri.
Namun, lanjut Prof Amir, dia menangkap, kemungkinan persaingan di tingkat elit sisa nama Prof Aswanto dan Bahtiar.
"Mungkin kalau dikerucutkan disitu, dua nama ini silih berganti menguat. Tapi klarifikasi belum, ini belum ada. Masih di tim penilai akhir," kata Prof Amir.
Wakil Dekan II Fisip Unismuh Dr Luhur A Prianto, menyatakan penjabat kepala daerah adalah jabatan appointed (penunjukan), bukan elected (pemilihan).
Makanya, nama-nama yang muncul hanya usulan bagi pemerintah pusat.
“Meskipun politisasi penunjukan penjabat kepala daerah sulit dihindari. Meskipun berasal dari karier non-politik, semua calon punya back up politik kuat. Masing-masing kekuatan pendukung akan memperjuangkan calon yang didukungnya,” jelas Luhur.
Baca juga: Tokoh Luwu: Jika Prof Aswanto Jadi Pj Gubernur, Maka Inilah Kali Pertama Putra Luwu Pimpin Sulsel
Artinya, lanjut mantan Sekretaris Umum Masika ICMI Sulsel itu, basis pengusulan nama dari bawah pun juga sulit menghindari tendensi politik. Penjabat yang ditunjuk akan memiliki legitimasi dan sekaligus resistensi politik.
“Tetapi bagi kemendagri, legitimasi politik yang kuat dari usulan penjabat kepala daerah justru bisa mengurangi kendali mereka. Kemendagri akan mencari penjabat yang mampu menyelaraskan ‘kepentingan pemerintah pusat dan daerah’. Figur seperti itu bisa saja diluar dari nama-nama yang beredar itu,” jelas Luhur.
Guru Besar IPDN, Prof Dhahyar Daraba mengatakan, ada dua mekanisme di dalam konstitusi, kepala daerah itu dipilih DPRD atau rakyat secara langsung.
"Tidak ada di UU pemerintah daerah maupun pilkada, kepala daerah drop in, tidak ada. Kalau melihat Permendagri Nomor 4 tahun 2023, tidak ada peluang dipilih melalui drop in," kata Prof Dhahyar.
Menurutnya, penentuan Pj ini masih dibayangi UU nomor 5 tahun 1974, dia anggap semua daerah semua administratif.
"Rekayasa yang terjadi gagal (DPRD usulkan nama), tiga kali tidak pernah kuorum, ada apa ini, apakah kasih peluang drop ini kepala daerah," imbuhnya.
Menurutnya, semua kepala daerah yang diusulkan harus melalui DPRD.
"Ini berbahaya kalau misalnya ditunjuk, sudah diangkat, kita persoalkan di MK, bisa batal itu, karena melanggar UU Pilkada dan pemerintah daerah," kata Prof Dhahyar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.