Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Fahri Bachmid: Masa Jabatan Kepala Daerah Dikurangi Konstitusional untuk Keadaan Hukum Transisional

Fahri Bachmid menyampaikan pandangan dan argumentasi konstitusional terkait polemik pengurangan masa jabatan kepala daerah hasil pilkada serentak 2020

Editor: Ari Maryadi
zoom-inlihat foto Fahri Bachmid: Masa Jabatan Kepala Daerah Dikurangi Konstitusional untuk Keadaan Hukum Transisional
Citizen Reporter
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H.

TRIBUN-TIMUR.COM -- Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menyampaikan pandangan dan argumentasi konstitusional terkait polemik pengurangan masa jabatan kepala daerah hasil pilkada serentak 2020.

Fahri Bachmid berpendapat bahwa kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024.

Fahri berpendapat agar pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.

Fahri Bachmid mengatakan bahwa berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022, Perkara tersebut diajukan oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi yang merupakan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara.

Mahkamah berpendapat bahwa pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, adalah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia, sebagai hak politik.

"Dengan demikian hak tersebut secara doktriner terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang artinya hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945," kata Fahri Bachmid dalam rilisnya yang diterima Tribun-Timur.com Sabtu (5/8/2023).

Fahri Bachmid yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi & Pemerintahan (PaKem) Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia ini berpendapat, secara konstitusional MK mengatakan bahwa hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, "in casu" masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi.

Termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional.

Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional.

Aturan itu berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020.

"Sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif," kata Fahri Bachmid.

Kemudian, Fahri menyatakan bahwa ketentuan Pasal 201 UU Pilkada dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.

MK dalam pertimbangannya, bahwa jika merifer pada Butir 127 Lampiran II UU 12/2011, menegaskan bahwa ketentuan peralihan telah memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang didasarkan pada Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru.

Adapun tujuannya, yaitu menghindari terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara,” dan secara khusus mengenai kepastian hukum atas persoalan tersebut.

MK mengatakan adanya pengaturan masa jabatan kepala daerah yang terpilih saat Pilkada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 telah diatur secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, dan MK berpendapat bahwa dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan dimaksud telah diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan pada 2020 lalu, sehingga pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan kepala daerah demikian telah diketahui secara pasti oleh setiap pasangan calon,

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved