Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Endemi Covid dan Kita

Betapa tidak! Batasan pandemi yang ciri khasnya menjangkiti seluruh benua di dunia, tetiba diturunkan levelnya menjadi endemi.

Editor: Sudirman
Ist
Muh Arsyad Rahman, Alumnus Antropologi FISIP UNHAS 

Oleh: Muh Arsyad Rahman

Alumnus Antropologi FISIP UNHAS

Covid ini benar-benar menelikung kamus kesehatan masyarakat, terutama A glossary of epidemiology.

Betapa tidak! Batasan pandemi yang ciri khasnya menjangkiti seluruh benua di dunia, tetiba diturunkan levelnya menjadi endemi.

Sedang pemahaman originalnya; endemi hanyalah terjadinya wabah penyakit di area yang tak luas (Contoh: endemis malaria di Topoyo, Mamuju, Sulawesi Barat), dan bukan seluruh dunia secara geografis.

Adalah kita mempersangkakan Covid melampaui batas kapasitas psikologis kita, seolah darurat kesehatan masyarakat ini adalah rupa kelihaian tunggal, bernama Covid-19.

Begitu abainya kita menelisik diri bahwa Covid hadir karena kita, selanjutnya kita merancang peperangan dengan ‘ciptaan’ kita sendiri.

Sedangkan, Covid tak lebih dari ensiklopedia yang hermeneuein-nya memamer ketakutan, memantik kecemasan, dan bersemantik phobia. Pun traumatis!

Mengartikulasikan Covid, atau mendengar di kejauhan perihal penyakit menular fenomenal di abad ini, telah cukup membuat kita ‘kena mental’.

Sesungguhnya, Covid dan aneka jenis penyakit lainnya, memanglah ancaman abadi bagi kehidupan manusia.

Bahkan pelbagai penyakit telah mengintai, jauh sebelum kita dilahirkan, hingga kelahiran kita yang sakral itu, dan juga diakhiri kematian, pun sakral.

Tetapi sesungguhnya juga, Covid dan keturunannya, sekali-sekali bukanlah musuh kita.

Jika pun dianggap musuh, maka mereka bukan lawan-tanding kita.

Dan, bila pun lawan-tanding, mereka adalah sparing partner untuk beberapa buah pembelajaran hidup, termasuk mempelajari data dan perilaku Covid.

Pilihan diksi optimisme penulis ini, dilandasi bahwa manusia, meskipun pendatang baru di planet ini, tetapi makhluk yang satu ini sangat berdaya-cipta tinggi, cerdik beradaptasi, dan pandai bermain dengan lingkungan (ekologi).

Apalah arti kawanan Covid bagi manusia! Cuma saja, manusia lekat dengan kecerobohan dan kelengahan, termasuk penulis!

Itulah pintu-pintu masuknya sekauman Covid, merangsek perlahan ke organisasi fisik manusia, ya kita.

Hingga memunculkan perih tak tertahankan, dan potensial memendekkan durasi kehidupan, plus menjungkalkan kualitas hidup.

* * *

Penulis tiada mengelak bahwa Covid adalah disease (penyakit), sehingga dinamai coronavirus disease, itu konsep patologi.

Tetapi, menurut sekalangan orang, disease itu meneror manusia yang mengorbitkan illness (juga penyakit), dan illness itu konsep, landscape dan kajian kebudayaan (antropologi).

Runtutan alamiahnya memang begitu, disease dulu, barulah disusul illness, dan sedikit ada masalah di wilayah ‘coronavirus illness’ kita.

Musabab Covid adalah makhluk tunggal, namun manusia mendeskripsikan ke dalam 1001 macam bentuk penderitaan, kesengsaraan, malah pun keputusasaan.

Teringat di masa pandemi dulu -sekarang telah dinyatakan endemi oleh pemerintah Indonesia, per 21 Juni 2023- tentang kepanikan massal, tentang culture shock di kampung sendiri.

Tentang tata aturan yang belum tertata, tentang istilah bergejala tak bergejala, tentang orang-orang kesehatan yang diklaim sebahagian pihak bahwa Covid adalah wilayah mereka.

Ada semacam etnosentrisme di sini, bahwa sesungguhnya Covid bukanlah gawean orang-orang kesehatan itu semata.

Covid itu proyek kolektif, gerakan keroyokan, gedor-an moral bersama, dan mesti ada orang kesehatan selaku ‘teknisi’ dalam menormalkan kembali organ-organ yang dilukai Covid.

Tetapi, penulis meyakini bahwa Covid mampu dijinakkan dengan proyek interdisiplin, multidisiplin, atau transdisiplin keilmuan, kompetensi, dan latar profesi.

Yang demikian itu, kelak membentuk sistem budaya dan pola kebudayaan (culture pattern) dalam menyikapi dan membersamai Covid.

Sekalipun itu, perilaku individulah yang menjadi pengamatan dalam konteks sosial dalam pengelolaan Covid.

Tokoh antropologi dunia, Edward Bernard Tylor (1832-1917), pernah berdialektika dalam bukunya Primitive Culture and Anthropology, memperdebatkan hubungan antara masyarakat “primitif”, dan masyarakat “beradab”, sebuah tema sentral yang begitu kesohor dalam literatur antropologi abad sembilan belas.

Hemat penulis, apa yang modern saat dulu, menjadilah primitif saat ini.

Apa yang modern saat ini, kelak akan diprimitifkan di sekian-sekian abad mendatang.

Berikutnya, orang-orang dulu memiliki teknologi seadanya tetapi ada patri budaya yang kuat dalam pencegahan penyakit
dan merawat kebugaran jiwa-raga.

Orang-orang sekarang, teknologinya kuat tetapi lemah budaya dalam tata laksana kesehatan.

Jika demikian adanya, patutlah kita padukan keduanya, sekalipun berbeda zaman dan latar waktu.

Covid dan kita mesti sinergikan teknologi tinggi dengan budaya yang tinggi pula, lekat pada acuan kemanusiaan.

Dus, faktor budayalah pencipta perilaku kesehatan. Dengan budaya diharapkan penyehatan manusia diaktifkan.

Singkatnya, faktor budaya sanggup meramu industri kesehatan, bukan industri kesakitan yang meracau itu. Wallahu a’lam bish-shawab.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved