Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pemikiran Mitos Penyebab Kemunduran Bangsa

Sebuah bangsa atau negara dapat dikatakan maju apabila warganya telah berada dalam kehidupan sejahtera dan berbahagia..

DOK PRIBADI
Rada Dhe Anggel - Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar 

Oleh: Rada Dhe Anggel

Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Sebuah bangsa atau negara dapat dikatakan maju apabila warganya telah berada dalam kehidupan sejahtera dan berbahagia.

Adapun kemajuan negara selalu ditentukan oleh penggunaan teknologi tinggi, tingkat pengangguran rendah, serta laju stabil perekonomian.

Gambaran negara maju di atas telah dialami oleh Finlandia, Denmark, Swiss, Islandia, dan Belanda. Kelima negara itu merupakan urutan negara paling berbahagia di dunia menurut penelitian World Happiness Report 2022.

Negara lain yang masuk 10 negara paling berbahagia di dunia adalah Norwegia, Swedia, Luxemburg, dan Selandia Baru.

Terlihat bahwa negara-negara berbahagia adalah bangsa-bangsa yang dominan berpikir rasional atau modern.

Kita tidak melihat nama negara-negara mayoritas “berpikir” religius seperti Indonesia, Filipina, dan Kenya. Ketiga negera tersebut merupakan negara paling religius di dunia menurut penelitian Pew Research Center 2020. Negara religious selanjutnya adalah Nigeria, Tunisia, Brazil, Afrika Selatan, India, Turki, dan Lebanon.

Mengapa negara-negara religius tidak masuk dalam peringkat 10 Negara Paling Berbahagia di Dunia? Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa “makin religius suatu negara, maka semakin mereka tidak rasional.

Sementara semakin rasional suatu negara, maka mereka akan makin maju.”

Tidak ada negara religius yang ditetapkan sebagai negara maju oleh World Bank atau World Trade Organization. Lalu apa kaitannya negara religius dengan tidak majunya suatu negara tersebut?

Faktor apa yang dapat mempengaruhi negara itu bisa disebut maju atau tidak? Apakah agama salah satu faktor yang memengaruhi negara tersebut tidak maju?

Pemikiran Mitos

Hasil-hasil penelitian menunjukkan negara religius memiliki kualitas pendidikan yang rendah.

Kebanyakan negara religius lebih mengedepankan agama dibanding logika atau rasio dalam penyusunan kebijakannya.

Salah satu contoh negara berkembang yang tinggi akan religiusitasnya adalah Indonesia. Negara kita dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Itu berarti bahwa hampir semua hal, termasuk politik, pendidikan, dan sistem pengambilan keputusan negara, melibatkan agama. Hasilnya? Seperti yang jauh masa sebelumnya konon pernah dikatakan Kaisar Horohita dari Jepang:

“Jika memang suatu negara ingin mengedepankan pendidikan agama saja, ya selamat. Tujuannya telah tercapai: masyarakatnya telah menjadi religius. Sedangkan yang menjadi ilmuwan sangat sedikit yang berhasil tercipta.”

Negara maju memang ditopang oleh kualitas tinggi Sumber Daya Manusia (SDM). Semua itu dimulai dengan merancang suatu sistem pendidikan yang dianggap paling mumpuni membentuk dan menciptakan generasi ilmuwan dan ahli, terutama di bidang teknologi.

Penentu kemajuan satu bangsa akhirnya terletak pada kualitas pendidikan wargannya.

Sayangnya, penghargaan terhadap ilmu pengetahuan tidak begitu memadai di negara religius seperti Indonesia.

Gaji untuk guru, apalagi guru honorer, sangat kecil. Malah tanggungjawab atas kekeliruan intelektual itu dilarikan untuk diselesaikan secara keagamaan lewat iming-iming surga.

“Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, nikmati saja, nanti masuk surga.” Begitu kata Muhadjir Effendy tahun 2019 ketika masih menjabat Mendikbud.

Terlihat bahwa Muhadjir tidak berupaya menangani masalah tersebut secara rasional, tetapi lebih ke penyelesaian mistik. Tak berpikir rasional dan bersekutunya agamawan dengan politisi dalam sebuah negara memang merupakan penyebab ketertinggalan negara-negara mayoritas Islam.

Pandangan di atas merupakan hasil penelitian Ahmet T. Kuru dalam bukunya, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021). Menurut Kuru, ilmu pengetahuan sebenarnya pernah kompatibel dengan orang Islam.

Hal itu terjadi ketika mereka mempelajari filsafat dari pemikir-pemikir Yunani. Era itu melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun.

Meninggalkan Filsafat

Ilmuwan dan ilmu pengetahuan kemudian surut di negara-negara mayoritas beragama Islam di kawasan Timur Tengah ketika Al-Ghazali menyerukan untuk meninggalkan filsafat pada abad 11 Masehi.

Ghazali lalu mengembangkan pendidikan dengan metode hapalan dan sangat berlandas ke agama.

Salah satu contoh pendidikan gaya Ghazali adalah ketika menjelaskan bagaimana proses terbakarnya sebuah kapas. Menurut Ghazali, kapas tersebut bisa terbakar karena dibakar oleh Tuhan.

Meninggalkan filsafat, cara berpikir seperti ala Ghazali, ditambah model pengajaran hapalan, disebut Kuru sebagai penyebab terbelakangnya bangsa-bangsa mayoritas Islam.

Model pendidikan seperti itu menjadi lebih berkembang ketika agamawan bekerjasama dengan politisi penguasa.

Menurut Kuru, kebanyakan pemimpin hingga abad ke-20 di Turki, Iran, Mesir, Irak, Suriah, Aljazair, Tunisia, Pakistan, dan Indonesia adalah mantan perwira militer.

Latar belakang pelatihan dan pergaulan militer para pemimpin tersebut membuat mereka tidak sungguh-sungguh menghargai pentingnya para intelektual.

Pemikiran kalangan intelektual tidak banyak dilibatkan dalam pembangunan ekonomi dan politik di negara mereka. Pemimpin-pemimpin itu juga umumnya berada di bawah pengaruh ideologi sosialis dan fasis serta otoriter.

Mereka memaksakan pandangan-pandangan ideologis ke masyarakat dan membangun kendali negara terhadap ekonomi dengan membatasi kelas intelektual.

Penguasa tersebut, secara sewenang-wenang mengesahkan rezim otoriter mereka dengan menggunakan agama Islam.

Kooptasi itu mendukung ulama yang telah mapan dan mengorbankan sarjana dan intelektual independen.

Akibatnya, walau didirikan pemimpin sekuler, namun konservatrisme agamawan dan penguasa terhadap masyarakat, membuat banyak negara modern Muslim yang kehidupan publiknya mengalami Islamisasi.

Hasil penelitian Kuru memperlihatkan bahwa pangkal kebodohan adalah pemikiran mitis keagamaan, meninggalkan filsafat, tidak berpikir rasional, dan bersekongkolnya agamawan dengan politisi

. Sebuah fenomena yang mudah sekali terlihat dan dirasakan efek buruknya dalam berbagai ketertinggalan hidup di Indonesia. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved