Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ayo Mudik Ibu Rindu

Para pembaca roasting ramadhan, buat yang orang tuanya masih hidup, pulanglah mudik lebaran, orang tua anda rindu.

Editor: Hasriyani Latif
dok pribadi/abd majid
Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar Abd Majid Hr Lagu. 

Oleh:
Abd Majid Hr Lagu
Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Lembut rasanya ketika mengenang kasih seorang ibu. Dalam hati menanggung rindu berjumpa dengannya.

Sembilan bulan lamanya ibu mengandung. Ibu bahagia, bersyukur, kita ada didalam rahimnya. Walaupun suka mual dan muntah, ibu tetap berusaha makan, agar kita tidak kekurangan nutrisi.

Meskipun badan berat, ibu tetap berusaha bergerak, agar kita tetap sehat. Ibu bersusah payah menjaga kita, sakit dan lelah ibu hiraukan, mungkin berharap akan lahir anak sholeh sholeha.

Semakin lama hamil semakin besar perut ibu, jalan semakin berat, duduk susah, tidurpun sulit.

Menjelang kita lahir kedunia ibu sakit tak terbanyang, seperti sudut antara hidup dan mati, menyabung nyawa melahirkan kita ke dunia.

Ibu kita berteriak, meringis kesakitan, bersimbah darah, bermandikan keringat, bercucuran air mata.

Tidak sedikit ibu yg wafat ketika melahirkan anaknya. Tapi melihat anaknya lahir, mendengar tangisan pertama kita, bahagia tidak terkira, sirna semua derita.

Ayah melantunkan adzan, suaranya begitu halus mengalun, kita dipeluk, diciumnya, dibelai, didekap, Alhamdulillah.

Kenanglah waktu kita bayi dulu, siang malam dijaga, tidak rela satupun nyamuk menggigit kita. Lebih baik ayah dan ibu lapar daripada kita yg lapar.

Sedang nikmat makan, tidak pernah jijik kalau kita membuang kotoran. Kalau kita sakit apapun dilakukan agar kita kembali sehat, bahkan menukar nyawapun rela.

Ayah membanting tulang semakin keras agar punya biaya, agar kita tumbuh menjadi bayi yg sehat dan tidak kekurangan sedikitpun.

Semakin lama, kita semakin besar, semakin menyusahkan. Dulu menjelang kita sekolah, orang tua membanting tulang mencari biaya, bahkan tidak malu pinjam uang kesana kemari.

Agar kita bisa pintar, menjadi kebanggaan ayah dan ibu. Agar kita punya seragam seperti orang lain, punya tas, punya sepatu. Walapun mereka sendiri bajunya semakin lapuk.

Ketika kita memanggil namanya, orang tua akan berlari menyambut kita. Tapi apa yang kita lakukan?

Telinga kita tuli mengabaikan ibu meminta tolong, mulut kita bisu hanya sekedar menyahut ucapannya, tangan kita berat hanya sekedar mengangkat teleponnya.

Semakin besar semakin pandai kita menyakiti hatinya. Mata sering sinis melihat ke arahnya, mulut sering kasar bagai pisau yg mengiris hati, kadang bagai palu yg meremukkan perasaan.

Berapa banyak anak yang menjadi durhaka ketika besar. Mereka malu mengakui orang tuanya, malu melihat perawakannya yang sudah usang.

Pecayalah, akan datang suatu masa kita akan berpisah dengan orang tua kita. Andai malaikat maut menjemput orang tua kita, andai saat perpisahan tiba, andai orang tua kita sudah terbaring kaku menjadi mayat, kita tidak akan lagi bisa mendengar suaranya, gurauannya, nasehatnya, doanya.

Andai kata orang tua kita sudah dibungkus kain kafan, kita tidak akan bisa lagi membawakan ma­kanan kesukaannya, tidak bisa lagi memijat kakinya, tidak bisa lagi mencium ta­ngannya.

Andai kata, orang tua kita sudah diusung me­nu­ju pekuburan, ketika di­masukkan ke liang lahat, ketika tanah mulai me­nimbunnya, itulah saat terakhir kita melihat jasatnya.

Sesudah itu hanya tinggal nisan, yang bisa kita raba dan penyesalan mengapa selagi ada disia-siakan. Ketika sampai ke rumah, kamarnya sudah kosong, hanya tinggal foto dan pakaiannya yg tergantung di dinding, serta kepedihan, mengapa ketika ada diabaikan.

Menangis tiada guna lagi, orang tua kita tidak akan pernah kembali.

Begitu banyak orang yang datang berusaha menghibur, tapi tidak mampu mengurai kepedihan kita.

Begitu banyak kawan yang coba menguatkan, tapi tidak mampu menahan beban penyesalan kita, begitu banyak saudara yang coba memeluk, tapi tidak mampu meringankan kerinduan kita.

Mengapa kita tidak memiliki waktu untuk bisa membahagiakan orang tua, sedangkan untuk pekerjaan, untuk teman, selalu banyak waktu.

Mengapa kita kikir serba berhitung, sementara orang tua kita tidak pernah berhenti memberikan kebaikan dan doa kepada kita. Mengapa kita begitu angkuh, sementara orang tua kita begitu tulus menyayangi dan membesarkan kita.

Ketika orang tua sudah berpulang, baru kita sadar dunia terasa hampa. Uang yang banyak sudah tidak berguna, pangkat dan jabatan yang yang tinggi sudah tidak berarti.

Kita menjadi bingung harus kemana bercerita tentang prestasi kita, pencapaian kita tidak bernilai lagi.

Ketika datang masalah, rasanya sangat berat, tidak ada lagi ibu yang menguatkan kita. Kadang hanya dengan usapan tangannya, lepas semua beban kita. Tidak ada lagi doa yang mengiringi perjuangan kita.

Allahummagfirli wali walidayya warhamhuma kama rabbayani shogira

"Yaa Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan dosa kedua orangtuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku pada waktu aku kecil"

Hanya doa yang bisa kita kirimkan, hanya amalan sholeh yang bisa kita lakukan. semoga Allah melapangkan kuburnya, menjauhkannya dari siksa kubur dan panasnya api neraka, terimalah sholat dan ibadahnya, bersihkanlah mereka dari kesalahan bagaikan baju putih bersih dari kotoran, dan masukanlah mereka kedalam syurgaMu.

Para pembaca roasting ramadhan, buat yang orang tuanya masih hidup, pulanglah mudik lebaran, orang tua anda rindu.

Jangan sia-siakan mereka, jangan biarkan mereka menunggu, jangan biarkan mereka bersedih. Mereka tidak butuh harta anda, mereka tidak ingin pangkat dan jabatan anda, mereka hanya butuh dan ingin melihat anaknya berkumpul.

Jarak yang jauh bukanlah penghalang, tiket yang mahal bukanlah soal, berusahalah karena orang tua anda sedang mendoakan Anda, yakinlah Allah pasti akan mengabulkannya.

Pulanglah mengikat buras bersama ibu, nikmatilah kue mentega buatan ibu, bantulah ayah memotong ayam, bawakanlah makanan kesukaanya, berikanlah pakaian terbaik untuknya, bahagiakanlah mereka selagi masih ada.

Pulanglah, Jangan menunda karena ajal kita tidak tahu.

Selamat menjalankan ibadah puasa.

Jazakumullah Khairan Katsiran.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved