Opini Tribun Timur
Menuju Swasembada Gula
Inefisiensi industri gula nasional (gula tebu) dimulai dari on farm (perkebunan tebu), off farm (pabrik gula) higga rantai distribusi yang panjang.
Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen FEB Unhas/Ketua KPPU RI 2015-2018
Inefisiensi industri gula nasional (gula tebu) dimulai dari on farm (perkebunan tebu), off farm (pabrik gula) higga rantai distribusi yang panjang.
Hal ini menyebabkan tingginya disparitas harga gula nasional dengan internasional.
Dimana, harga gula di pasar dunia sekitar Rp. 4.500 per kg sementara di dalam negeri Rp. 12.500 – Rp. 13.000 per kg.
Disparitas harga yang tinggi memberikan insentif melakukan impor dalam rangka penyediaan gula konsumsi dan industri.
Hal ini menjadi salah satu penghambat tercapainya swasembada gula. Selain itu, margin harga yang tinggi memberikan insentif melakukan penyelundupan gula ke pasar dalam negeri.
Kebutuhan gula nasional berdasarkan data Kemenperin pada tahun 2022 sekitar 6,48 juta ton, yaitu 3,21 juta ton gula konsumsi, dalam hal ini Gula Kristal Putih (GKP) dan 3,27 juta ton Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri.
Sementara produksi gula nasional tahun 2021 hanya 2,35 juta ton.
Dimana pabrik gula BUMN menghasilkan 1,06 juta ton dan pabrik gula swasta 1,29 juta ton.
Terdapat selisih antara penyediaan gula di dalam negeri dengan kebutuhan gula, baik untuk konsumsi maupun industri.
Dimana gap penyediaan gula dari pabrik gula BUMN dan swasta dengan konsumsi sekitar 850 ribu ton untuk gula konsumsi dan 3,27 juta ton untuk gula industri.
Masalah Industri Gula
Swasembada gula didefenisikan sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi gula nasional melalui produksi gula yang bersumber dari areal tebu rakyat dan tebu swasta.
Berdasarkan data Kemenperin mengenai konsumsi dan produksi gula nasional, swasembada gula masih sangat sulit dicapai dalam 5 – 10 tahun mendatang.
Secara historis, Indonesia pernah mengalami swasembada gula, yaitu pada masa Hindia Belanda sekitar tahun 1930-an.
Saat itu, produksi gula nasional mencapai 3 juta ton per tahun.
Dimana kurang lebih separuh produksi gula nasional diekspor yang menempatkan Indonesia sebagai eksportir gula nomor dua setelah Kuba.
Pada masa keemasan industri gula nasional, pemerintah Hindia Belanda menguasai sekitar 179 pabrik gula (PG) dengan kapasitas masing-masing PG sekitar 2 ribu Ton Cane per Day (TCD).
Hal ini didukung oleh perkebunan tebu sekitar 196,65 ribu hektar sehingga Bahan Baku Tebu (BBT) mencukupi untuk giling tanpa henti selama 100 – 120 hari.
Swasembada gula nasional kemudian tidak pernah tercapai kembali pada periode kemerdekaan, dimana sejak PG milik Belanda dinasionalisasi produksi gula nasional semakin menurun.
Saat ini kondisinya semakin parah karena sebagian lahan tebu di Pulau Jawa beralih fungsi menjadi areal industri dan perumahan.
Permasalahan utama industri gula nasional adalah produksi yang terus menurun dan Harga Pokok Produksi (HPP) gula yang tinggi.
Produksi gula nasional mengalami penurunan karena masalah di on farm, dimana produktifitas lahan tebu hanya sekitar 50 – 70 ton per hektar dan kualitas tebu yang buruk tercermin pada rendemen yang rendah.
Sementara di off farm, kondisi PG hasil nasionalisasi dari PG Belanda tidak banyak mengalamni modernisasi menyebabkan losses (kehilangan) pada tahapan produksi tinggi.
Losses dimulai dari stasiun penerimaan tebu, gilingan, pemurnian, penguapan, masakan pendingin hingga stasiun puteran penyelesaian untuk menghasilkan gula.
Produktifitas lahan tebu dan rendemen tebu yang rendah ditambah dengan mayoritas lahan tebu adalah lahan sewa menyebabkan harga Bahan Baku Tebu (BBT) tinggi.
Keterbatasan lahan di Pulau Jawa yang memproduksi sekitar 60 persen dari total produksi gula nasional berkontribusi pada komponen sewa lahan yang tinggi dalam harga BBT.
Di samping itu, tanaman tebu masih harus bersaing dengan komoditi lain dalam utilisasi lahan.
Swasembada Gula
Swasembada gula nasional, paling tidak swasembada gula konsumsi dapat dimulai dari hulu berkaitan dengan konsistensi kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan roadmap swasembada gula.
Strategi menuju swasembada gula dilakukan dengan secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap gula impor hingga 5 tahun ke depan.
Pada tahap selanjutnya mengatasi masalah di on farm yang berkaitan dengan penyediaan lahan tebu sesuai dengan kapasitas PG.
Sebagai contoh, keberadaan PG berkapasitas 4 ribu TCD, dengan perkiraan lama giling 120 hari, paling tidak didukung oleh lahan tebu seluas 4.800 hektar dengan produktifitas per hektar lahan paling rendah 100 ton.
Peningkatan produktifitas perkebunan tebu dari saat ini 50 – 70 ton per hektar menjadi 100 – 120 ton per hektar dapat dicapai melalui pemilihan bibit tebu yang sesuai dengan kondisi lahan, tata kelola lahan sesuai best practices mulai dari ketersediaan air, pemupukan, kebersihan tanaman hingga pengendalian hama.
Tujuannya agar homogenitas tanaman tercapai, utamanya di lilit batang dan tinggi tanaman.
Tata kelola lahan tebu sesuai kultur teknis atau best practices sangat menentukan tercapainya swasembada gula mengingat ketersediaan lahan yang terbatas di Pulau Jawa sebagai basis produksi gula nasional.
Di samping itu, mayoritas lahan tebu di Pulau Jawa adalah lahan sewa yang besaran sewanya memperhitungkan pendapatan petani dari menanam tanaman lain, khususnya padi.
Modernisasi perkebunan tebu sangat penting karena terkait dengan produktifitas lahan dan luasan lahan yang diperlukan untuk menghasilkan paling tidak 3,21 juta ton gula.
Dimana, dengan asumsi kebutuhan gula konsumsi 3,21 juta ton maka dengan produktifitas 70 ton per hektar dan rendemen 7 persen, telah memperhitungkan kualitas tebu dan besarnya losses di pabrik, maka dibutuhkan lahan sekitar 655,102 ribu hektar.
Modernisasi tata kelola lahan tebu akan mendongkrak produktifitas lahan menjadi 100 – 120 ton per hektar sehingga kebutuhan lahannya menurun menjadi hanya sekitar 382 – 458 ribu hektar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas lahan tebu nasional tahun 2022 sekitar 488,900 ribu hektar.
Dengan produktifitas 80 ton per hektar dan rendemen tebu 7 persen diperoleh gula kurang lebih 2,738 juta ton.
Sehingga defisit gula konsumsi 500 ribu ton hanya membutuhkan tambahan lahan sekitar 89,285 ribu hektar.
Langkah penting lain menuju swasembada gula adalah modernisasi PG sesuai dengan perkembangan teknologi PG terbaru.
Modernisasi dimulai dari ketel uap atau boiler untuk menghasilkan uap dalam rangka menggerakkan gilingan, pemanasan nira, penguapan nira, pemasakan nira kental dan putaran penyelesaian akhir.
Modernisasi PG akan mengurangi losses dalam proses pembuatan gula.
Akhirnya, mengingat sifat industri gula yang harganya dikendalikan oleh pemerintah di hilirnya melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) maka tumpuan industri gula adalah efisiensi mulai dari on farm, off farm hingga penyederhanaan rantai distribusi.
Efisiensi akan mengurangi HPP dan menekan harga jual sehingga masih terdapat selisih harga antara HET dengan harga jual ke konsumen akhir. *
Bukan Rapat Biasa, Ini Strategi Cerdas Daeng Manye Mencari 'The Next Top Leader' di Takalar |
![]() |
---|
1 Juni: Pancasila Tetap Luhur, Walau Inter Milan Amburadul |
![]() |
---|
Cinta yang Hilang: Bahasa Diam Dalam Hubungan Digital |
![]() |
---|
Menjalani Ramadan: Berbenah Dalam Bulan Pendidikan |
![]() |
---|
Nostalgia 78 Tahun HMI: Kanda Dimana, Kita Iya Dinda Dimana? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.