Opini
Puasa, Latihan Mengendalikan Nafsu Kuasa
Ibadah puasa sebagai wadah latihan mengendalikan nafsu kuasa menjadi sangat penting dilakukan.
Oleh:
M Affian Nasser
Alumni UINAM, Anggota IKA PPMBS Bajo, SANAD TH-Khusus Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Alhamdulillah, bulan Ramadan kini kembali hadir di tengah-tengah kita, di mana sebulan penuh umat Islam akan mengarungi bahtera kehidupan di dalam menjalankan ibadah puasa selama Ramadan.
Sekalipun kehadiran Ramadan sudah akrab dalam kehidupan masyarakat kita namun tetap saja suasana kegembiraan dan nuansa religius yang dihadirkan bulan Ramadan masih terasa sangatlah kuat.
Sudah menjadi pemahaman kita bersama, bahwa inti Ramadan adalah shaum, yakni puasa. Tapi, Ramadan itu sendiri bukan hanya semata tentang puasa. Wacana tentang pengendalian nafsu juga menempati posisi sentral dalam bulan Ramadan.
Pada hakikatnya, nafsu yang dimiliki manusia adalah bingkai kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Akan tetapi, hawa nafsu yang tidak terkontrol justru akan menjerumuskan manusia ke jurang jahannam.
Karena itulah, dalam bulan Ramadan puasa diwajibkan, guna melatih diri mengendalikan berbagai gejolak hawa nafsu.
Nafsu Kekuasaan
Menahan nafsu makan dan minum serta nafsu seksual, seringkali menjadi topik bahasan yang paling mendasar untuk dibicarakan setiap kali memasuki bulan Ramadan.
Memang benar bahwa perang melawan hawa nafsu pada saat berpuasa dalam konteks tersebut sangatlah penting agar yang bersangkutan dapat mencapai derajat ketakwaan yang seutuhnya, la’allakum tattaqun.
Sayangnya, kita sering lupa akan pentingnya membicarakan hal ihwal nafsu kekuasaan.
Padahal, kalau kita berpijak dari kerangka dasar wacana Al-Qur’an tentang sisi kehidupan umat manusia, maka kekuasaan menjadi sangat penting dibicarakan berkaitan dengan puasa Ramadan.
Mengingat pula di sisi lain, bahwa mengendalikan nafsu kuasa adalah satu hal yang sering kali dilupakan dari tujuan berpuasa itu sendiri.
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS Ali ‘Imran/3:14).
Dalam ayat tersebut, memang kekuasaan secara politik tidak disebutkan secara eksplisit.
Namun, kalau kita mau sedikit jeli dengan konteks kehidupan manusia sepanjang sejarah, maka kecintaan manusia terhadap semua hal yang disebutkan di atas, paling mudah dilakukan dan didapatkan oleh mereka yang punya kekuasaan.
Sebagai contoh, orang yang pada dasarnya kaya, ketika menduduki kursi kekuasaan maka ia akan semakin kaya.
Demikian pula sebaliknya, yang tadinya terlihat biasa-biasa saja namun tiba-tiba mendadak menjadi kaya raya hanya dalam waktu yang relatif singkat.
Tentu ini adalah imbas dari moralitas seorang penguasa yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya melalui nafsu kekuasaan. Karena itu, ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan nafsu kuasa justru akan membawa dampak negatif bagi orang lain, entah itu berupa eksploitasi, represi, diskriminasi, atau bahkan melalukan korupsi.
Hidup bergelimang harta dengan segala kemudahan dari ketersediaan fasilitas membuat orang makin bernafsu tinggi untuk mengejar kekuasaan.
Gelora syahwat pun menjadi kegiatan yang seolah-olah harus dipertontonkan. Akibatnya, mereka lupa akan fungsi dan tujuan mulia dari kekuasaan politik itu sendiri.
Memang kekuasaan adalah tempat strategis untuk memperoleh aneka ragam fasilitas yang dicintai oleh manusia.
Karena itu, tidak heran jikalau saat musim menjelang pemilihan umum seperti saat ini, kita akan banyak menjumpai “nafsu-nafsu kekuasaan” sedang menggurita. Demi nafsu untuk berkuasa, maka segala cara akan mereka halalkan agar bisa mendapat kekuasaan.
Seakan mereka para pelaku politik tersebut tidak memiliki kesadaran bahwa kekuasaan atau jabatan adalah amanat berat yang memiliki tanggung jawab besar baik kepada manusia mau pun di hadapan Tuhannya kelak.
Latihan Mengendalikan
Pada hakikatnya, jabatan atau pun kekuasaan juga adalah cara yang paling strategis untuk menggapai predikat takwa. Sebagaimana ibadah puasa.
Kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Dengan kekuasaan perbuatan baik akan mudah dilakukan dan manfaatnya bisa dirasakan bagi banyak orang.
Melalui kekuasaan pulalah amal saleh seseorang bisa jauh lebih konkrit dan menyasar secara massal.
Dalam konteks ini, maka ibadah puasa sebagai wadah latihan mengendalikan nafsu kuasa menjadi sangat penting dilakukan.
Tentu maksudnya bukan untuk menyerukan agar mereka yang sedang berkuasa mundur dari kekuasaannya atau mereka yang sedang mencari kekuasaan mengurungkan niatnya.
Namun puasa sebagai wadah latihan dalam mengendalikan nafsu kuasa yang dimaksud adalah bagaimana mengembalikan pemaknaan kekuasaan tersebut, yang dalam hal ini adalah demokrasi sebagai pilar dari aktivitas kegiatan sosial sesuai dengan amanat dasarnya, yakni instrumen dalam memakmurkan serta mensejahterakan rakyat.
Kekuasaan dalam bentuk apa pun, baik itu dalam ranah politik demokrasi mau pun kekuasaan di level keagamaan, sosial, hingga level organisasi paling kecil, tentu bisa memberi banyak maanfaat, namun sekaligus juga bisa menjadi mudarat jika tidak dijalankan melalui cara yang baik dan benar, yakni sesuai dengan prinsip keagamaan dan kemanusiaan yang luhur.
Karena itu, menjadikan puasa sebagai latihan dalam mengendalikan nafsu kuasa menjadi penting untuk kita lakukan, guna menghadirkan kembali fungsi serta tujuan mulia dari hakikat kekuasaan.
Selamat berpuasa! Wallahu a’lam bish-shawab.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.