Opini
Tawaran Sastra untuk Kurikulum Bahasa
Kebijakan kurikulum merdeka telah mendorong para guru agar mengembangkan materi ajar secara kreatif dan inovatif..
Dari sini kita dapat melihat, jika siswa hanya disuguhkan dengan model GBA, maka kesadaran kognitif mereka hanya dibatasi oleh struktur sintaksis.
Dengan demikian, mereka tak mampu mengeksplor bahasan lain saat berdialog dengan siapa saja bahkan diibaratkan seperti robot karena hanya mengandalkan gramatika bahasa saat bertutur.
Berdasarkan hal tersebut, saya ingin membangun satu determinasi jika sastra dapat menjadi pendekatan alternative dalam menjawab persoalan di atas.
Sastra tidak hanya menyuguhkan gramatika bahasa, tapi juga mampu meningkatkan khazanah pemahaman siswa bahkan mendongkrak kesadaran mereka dengan tiga tawaran: social skills, critical thinking, dan moral ethics.
Tawaran yang Dihadirkan
Tawaran pertama (social skills) dapat meningkat karena membaca karya sastra (prosa, puisi, dan drama) memberikan dua manfaat:
1). Karya sastra meningkatkan pembendaharaan kata bahasa asing. Siswa dapat mengenali aneka dari bentuk kata (regular & irregular verb) dan penggunaannya, sehingga memudahkan mereka dalam bersosialiasasi dengan siapa saja.
2). Dengan membaca karya sastra (semisal prosa) siswa dapat masuk ke dalam dunia cerita dan secara tak langsung mengalami kehidupan para karakter.
Mereka dapat meresapi derita kehidupan karakter melalui sebuah cerita seperti kemiskinan, penghianatan, pemberontakan tanpa harus menjadi menjadi miskin, penghianat atau pemberontak di dunia nyata.
Melalui sastra, siswa juga dapat mengenali kebudayaan di berbagai belahan negara dan menghargai perbedaan tersebut sebagai realitas kehidupan.
Sebab, dalam proses penciptaan, pengarang tidak terlepas dari kondisi sosial, gaya hidup, sikap politik bahkan agama yang diyakininya.
Hal ini disebut oleh Trevor Cairney (2010), guru besar sastra di Universitas New South Wales, sebagai cultural value yang penting dalam pengembangan social skills.
Kemampuan ini akan lebih terasah manakala guru mengajak para siswa untuk bertukar pikiran terkait hasil bacaan mereka dan merefleksikan idelitas cerita ke dalam realitas kehidupan mereka.
Untuk tawaran kedua (critical thinking), saya meminjam model pemikiran Bruner (1985), dalam membaca sastra yaitu model paradigmatic.
Model ini memantik siswa untuk mengaktifasi keingintahuan mereka saat menyelami dunia cerita.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.