Opini
Tawaran Sastra untuk Kurikulum Bahasa
Kebijakan kurikulum merdeka telah mendorong para guru agar mengembangkan materi ajar secara kreatif dan inovatif..
Oleh: Andi Farid Baharuddin
Dosen Fakultas Sastra Univeritas Sawerigading Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kebijakan kurikulum merdeka telah mendorong para guru agar mengembangkan materi ajar secara kreatif dan inovatif.
Tentu, kebijakan ini diharapkan dapat berorientasi pada pengembangan kemampuan siswa baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam mengembangkan hal tersebut, guru diberikan kebebasan dalam men-design bahan ajar yang berkesesuaian dengan kondisi internal dan eksternal peserta didik.
Yang dimaksud kondisi internal ialah guru mengenali level pemahaman siswa dan mengembangkan ketertarikan mereka terkait materi pembelajaran.
Di lain sisi, kondisi eksternal tidak kalah penting untuk diintegrasikan ke dalam konten pembelajaran.
Sebab hal tersebut berkaitan dengan kondisi sosial, lokal dan historikal siswa sehingga materi ajar tidak menghilangkan identitas kultural mereka.
Dengan mendesign materi ajar yang berbasis pada kedua kondisi di atas, para guru dapat membangun kedekatan emosional dengan para siswa sehingga suasana pembelajaran di kelas bersifat demokratis.
Dikatakan demokratis, karena basis materi ajar berangkat dari proses dialektika antara guru dan siswa saat melakukan analisis kebutuhan ajar.
Tidak menutup kemungkinan, guru dapat bernegosiasi dengan siswa terkait materi yang sesuai bahkan menantang bagi siswa.
Mengapa Sastra?
Saya memulai dengan menghadirkan satu pertanyaan sederhana, mengapa (dan bukan apa) sastra mesti menjadi bahan bakar kurikulum pembelajaran bahasa asing di konteks sekolah menengah atas (SMA)?
Dalam mengelaborasi hal ini, saya berangkat dari sebuah artikel ditulis oleh Andriani et al, (2021) yang menitik beratkan grammar-based approach (GBA) sebagai model pengajaran bahasa asing (Inggris) di SMA.
Padahal, sudah beberapa penelitian sebelumnya melihat jika penggunaan GBA tidak lagi kontekstual untuk digalakkan di SMA.
Ketidakkontekstualan ini dapat dilihat dari penjelasan Ahmad & Rao (2013) yang mengatakan jika GBA hanya berfokus pada bentuk sintaksis (seperti menghafal grammar bahasa) sehingga bahasa hanya dilihat sebatas formula baku belaka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.