Jokowi Harus Evaluasi Kewenangan Polri
Kasus pengakuan mantan anggota Polri Ismail Bolong terkait kasus uang tambang ilegal terus bergulir.
TRIBUN-TIMUR.COM - Kasus pengakuan mantan anggota Polri Ismail Bolong terkait kasus uang tambang ilegal terus bergulir.
Pasalnya, dari pengakuan Ismail Bolong turut menyeret sejumlah petinggi Polri.
Dimana, nama Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto turut terseret dalam pusaran kasus tersebut.
Tentu, hal ini harus menjadi perhatian khusus pemerintah, karena ini 'proyek' tambang ilegal ini diduga melibatkan petinggi Polri.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menilai, hal yang paling mendesak saat ini adalah melakukan evaluasi atas institusi Polri, terutama dalam kaitan dengan kewenangan dan proses hukum atas kasus tambang ilegal di Indonesia selama ini.
Sebab, probelmnya bukan sebatas urusan memodali operasi tambang ilegal, sebagaimana yang terjadi pada Ismail Bolong, tetapi, juga proses penindakan hukum di lapangan oleh polisi yang tebang pilih.
“Bayangan saja, dari total 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin alias tambang ilegal di Indonesia, hanya sedikit saja yang ditindak oleh aparat keamanan,” kata Melky Nahar, Selasa (8/11).
Melky pun menyebut, di Kaltim, misalnya, dari 150 lebih titik operasi tambang ilegal, hanya ada tiga kasus yang sedang dalam proses hukum.
Dia pun mempertanyakan soal sebagian kasus besar itu justru terkesan dibiarkan.
Melky pun menduga hal itu dilakukan untuk mencari keuntungan pribadi.
"Kami menduga, memang sengaja, dijadikan sumber cuan oleh aparat," terangnya.
Belum lagi, lanjutnya, ketika diandingkan dengan kasus-kasus tambang legal, berizin, milik perusahaan tertentu.
Polisi sering kali mengamankan operasi perusahaan-perusahaan ini.
Sementara warga yang melawan dikriminalisasi, atau tambang ilegal yang ada di dekat konsesi perusahaan itu, justru dibiarkan.
Ia pun membeberkan contoh konkret adalah di Bowone, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
