Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Opini Tribun Timur: Hoax Pemilu

Belum lama ini, kita mendengar riak politik tentang perpanjangan masa jabatan presiden, bahkan penundaan pemilu. Inikah hoax pemilu?

Editor: Ari Maryadi
zoom-inlihat foto Opini Tribun Timur: Hoax Pemilu
DOk: Hasbullah Khatib
Hasbullah Khatib

Namun, tuduhan serius itu tidak terbukti benar. Faktanya tidak ada data 31 juta DPT siluman. Itu hanyalah imputasi tanpa dasar yang mengabaikan sederetan fakta. Kita dapat melihat bahwa penyusunan DPT biasanya dilakukan secara akuntabel dan terbuka. Data tersebut dimutakhirkan secara berkala dan berkesinambungan.

Pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dilakukan secara door to door, dari rumah ke rumah.

Masih terkait DP, yang paling sering kita lupakan adalah kita ini adalah makhluk pelupa. Sangat jelas proses penetapan DP disaksikan oleh peserta Pemilu, Bawaslu, dan para stakeholder melalui rapat pleno terbuka. Mulai rapat pleno terbuka Daftar Pemilih Sementara (DPS), Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) hingga 3 (tiga) kali. Berdasarkan ini, harusnya kita bisa mengambil pelajaran dan terus berjungan untuk melawan lupa.

Tidak mau tahu dan mudah lupa bisa jadi sasaran empuk penyebaran hoax. Hoax adalah berita bohong, begitulah didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lebih jauh, hoax disebutkan menyangkut tindakan yang memiliki unsur jahat. Dalam Oxford English Dictionary, hoax didefinisikan sebagai “malicious deception” atau “kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat”.

Kata itu digunakan untuk menunjukkan pewartaan palsu atau usaha menyampaikan suatu kabar untuk menipu, atau mengakali pembaca/ pendengarnya agar mempercayai sesuatu. Asal kata hoax diyakini ada sejak ratusan tahun lampau, yakni “ocus” dari mantra “hocus pocus”, frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa “sim salabim”.

Hoax sangat berbahaya jika terus dibiarkan terjadi. Hoax berpotensi memecah belah integrasi kebangsaan. Mengingat aktor intelektual dibalik berita hoax berasal dari berbagai macam kalangan, tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga acap kali dibuat dan disebarkan oleh kaum terdidik yang memiliki kedudukan dan kapasitas keilmuan yang relatif tinggi di atas rata-rata.

Melawan

Merumuskan upaya perlawanan harus dilakukan. Semakin kesini data dan fakta kian membuat kita cemas. Perlu dipahami serta terus diingat apa saja faktor pendukungnya. Menurut Demisioner Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang membuat subur munculnya hoax di ruang sosial virtual warga Indonesia.

Pertama, regulasi yang belum menjangkau pemberantasan hoax. Kedua, pembiaran yang dilakukan oleh pasangan calon. Ketiga, lambannya respons dari lembaga penyelenggara Pemilu. Pernyataan ini harus diseriusi oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk menyelamatkan demokrasi di negeri ini.

Melawan hoax pemilu tidak cukup hanya dengan menindak para pelaku yang terlibat. Harus pula disiapkan strategi pencegahan. Masyarakat juga harus diberi pemahaman dan konsep agar bisa ikut ambil bagian dalam gerakan anti hoax yang selalu dikampanyekan oleh para pemerhati pemilu dan aktivis pegiat demokrasi.

Peran masyarakat dengan cara self-censorship telah terbukti efektif menangkap penyebaran hoax. Self-censorship adalah bagian dari literasi media di mana pengguna media sosial atau warganet (netizen) bertindak selektif dalam memilah mana informasi yang bohong dan benar. Informasi yang diterima harus dibandingkan dengan sumber berita lain, seperti yang terpublikasi di media arus utama.

Supaya tidak mudah terpancing dengan berita hoax, mengutip pernyataan Ketua Masyarakat Anti Hoax Indonesia Septiaji Eko Nugroho, perlu disarankan kepada agar masyarakat melakukan hal-hal berikut ini bila menerima informasi yang diduga hoax: Cek judul dan isi berita; Lihat alamat website; Cek fakta; Cek foto; dan Ikut komunitas antihoaks (Andarningtyas, 2016).

Tokoh masyarakat dan agama juga sangat penting perannya dalam upaya mencegah tumbuhnya hoax di masyarakat. Pandangan mereka, baik itu fatwa ataupun opini, selalu dijadikan rujukan oleh kalangan masyarakat bawah yang relatif rendah tingkat literasinya. Keterlibatan para tokoh ini sangat bermanfaat dalam usaha-usaha yang dilakukan untuk membendung penyebaran hoax.

Disseminator hoax yang terbukti harus ditindak tegas. Pada titik ini, peran aparat penegak hukum sangatlah penting untuk menindak. Para pelaku harus diberi hukuman berat. Masyarakat umum juga perlu memberikan sanksi sosial terhadap para pelaku yang terlibat secara nyata, baik itu pembuat ataupun sekadar penyebar. Sanksi berlapis ini penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku di masa depan.

Terakhir, bagi para penyelenggara Pemilu, upaya perlawanan dapat dilakukan sesuai dengan batasan kewenangannya.

Temuan pelanggaran pidana Pemilu khususnya terkait hoax, harus diproses dengan mekanisme yang berlaku.

Jika dimungkinkan, perlu perbaikan regulasi kepemiluan untuk menangkal penyebaran hoax sehingga kualitas pemilu 2024 bisa lebih baik dari pemilu sebelumnya. Mari berikhtiar.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Manuver KPU RI

 

Taubat Politik

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved