Opini
Opini Tribun Timur: Hoax Pemilu
Belum lama ini, kita mendengar riak politik tentang perpanjangan masa jabatan presiden, bahkan penundaan pemilu. Inikah hoax pemilu?
Oleh: Hasbullah
Peneliti “Jari Mata Kita” dan “Ketua Biro Politik dan Partisipasi Publik MW KAHMI Sulsel”
TRIBUN-TIMUR.COM - Di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara yang termasuk dalam lima besar pengguna Facebook dan Twitter, berita palsu telah digunakan untuk memperdalam perpecahan sosial, etnis dan agama yang ada – polarisasi politik identitas untuk keuntungan politik. Begitulah simpulan Kate Lab dalam tulisannya berjudul Fake news spikes in Indonesia ahead of elections.
Belum lama ini, kita mendengar riak politik tentang perpanjangan masa jabatan presiden, bahkan penundaan pemilu.
Menurut pihak ini, sebagian besar masyarakat setuju dengan usulan tersebut. Keberpihakan ini juga disebabkan oleh masyarakat yang masih dalam situasi sulit.
Oleh karena itu, Pemerintah saat ini diharapkan oleh masyarakat untuk lebih fokus pada permasalahan negara saat ini. Lebih lanjut, survei Populi Center pada Maret 2022 menghasilkan 62,4 persen masyarakat merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi.
Namun, bukan berarti jika masyarakat ingin Pemerintah fokus pada masalah negara, kondisi ini menjadi justifikasi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden bahkan penundaan pemilu. Penilaian ini juga sejalan dengan survei Populi Center yang menghasilkan 64,4 persen masyarakat menolak usulan tiga periode tersebut.
Oleh karena itu, pemberitaan tentang keinginan masyarakat untuk memperpanjang masa jabatan presiden dapat dilihat sebagai klaim sepihak atau hoax.
Kejadian tersebut mengingatkan kita perihal salah satu masalah utama yang kita hadapi dalam masa pemilu. Bahwa hoax yang diproduksi jelang atau selama masa pemilu merupakan masalah yang masih akan kita hadapi di pemilu berikutnya, pada tahun 2024 nanti.
Oleh sebab itu, masalah ini harus diperhatikan sedari dini agar kita tak terjerembap lebih jauh ke dalam diskursus pemilu yang bermuatan hoax.
Residu
Dalam konteks demokrasi Indonesia, tema terkait hoax baru ramai diperbincangkan sejak 5 tahun lalu. Tentu kita masih ingat bagaimana Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017, yang suhu sosial-politiknya semakin memanas tatkala hoax mulai bertebaran hingga nyaris memicu konflik dan perselisihan atas nama suku dan agama. Peristiwa lampau itu kini jadi residu, efeknya membayangi perpolitikan masa sekarang.
Pasca momen itu, pada tahun 2019 hoax semakin bertambah masif lagi. Kita tentu belum lupa berita hoax “server KPU disetting untuk memenangkan paslon tertentu”. Disseminatornya adalah seorang dosen yang memiliki latar belakang ilmu IT.
Disseminator berita hoax tersebut diringkus polisi sebagai buntut dari tindak lanjut laporan yang disampaikan pihak komisioner KPU RI.
Pada pemilu nasional tahun 2019, berita hoax yang menerpa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak hanya itu—server diset untuk menguntungkan satu paslon. Hal yang paling sering diproblematisir adalah perihal data pemilih.
Misalnya 31 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau "pemilih siluman". Para penuduh kemudian menyusun rincian bahwa ada 17,5 juta DPT yang dianggap bermasalah, 6,1 juta DPT yang diduga bermasalah, hingga orang gila yang dimasukkan dalam DPT.