F8 Makassar
Sandiaga Uno Terima Badik dan Lukisan Pinisi dari Tanah Liat Karya Zainal Beta
Tuan rumah, Wali Kota Makassar Danny Pomanto serta jajarannya menyambut dengan hangat para tamu yang berdatangan di F8 Makassar.
Penulis: Siti Aminah | Editor: Sukmawati Ibrahim
Mereka menarikan Pepe Peka ri Makka di atas lepa lepanya (perahu kecil) masing-masing.
Perahu kecil tersebut mengitari empat Pinisi yang membawa wali kota para tamu berlayar.
Tari Pepe-Pepeka Ri Makka salah satu kesenian tradisional dari etnis Makassar. Pepe’ mempunya arti api, dan Rimakka adalah tanah suci Mekkah. Terinspirasi dari kisah nabi Ibrahim yang dibakar.
Tidak hanya itu, sebagai bentuk kehormatan Danny kepada para tamu spesial yang datang, ia memberikan badik yang diwakilkan oleh To Barania Makassar.
Penyerahan badik pusaka khas Makassar tersebut diberikan kepada Sandiaga Uno, Budi Arie, Ridwan Kamil, dan Bima Arya.
Badik merupakan pusaka daerah budaya Makassar yang merupakan simbol keberanian, keperkasaan, dan harga diri sebagai petarung sejati.
Penyerahan badik pusaka tersebut memiliki makna menyambut para petarung tokoh nasional calon pemimpin masa depan bangsa Indonesia..
"Energy Of Recovery yaitu kita menampilkan simbol keberanian. Salah satunya badik yang merupakan simbol harga diri dan keberanian," kata Danny.
Tak hanya itu, Danny Pomanto juga menghadiahi sebuah maha karya lukisan kepada Menteri Sandiaga Uno.
Lukisan tersebut sangat unik karena dilukis menggunakan media tanah liat oleh sang seniman legend Zainal Beta.
Di atas panggung utama F8 Makassar, ia menggunakan kecepatan tangannya melukis tak cukup 10 menit lukisan itu pun selesai.
“Lukisan ini unik Pak Menteri dari tanah liat dimana lazimnya pelukis menggunakan cat air dan cat minyak. Keahlian dari seniman kebanggaan kami,” ucap Danny Pomanto.
Sementara, Zainal Beta sangat bangga dan langsung memeluk Sandiaga Uno di atas panggung.
Seniman Zainal Beta sendiri merupakan seniman sekaligus penemu sejak pertengahan 1980-an.
Ia diakui dunia sebagai pelukis pertama yang berkarya dengan media tanah dan air. Ia bahkan dianggap gila oleh sesamanya. Namun beberapa cibiran luntur seiring datangnya pujian dari maestro Affandi 33 tahun lampau.
“Dulu saya dicibir, jadi saya mengurung diri dan mengasah kemampuan saya dan Alhamdulillah saya diakui dunia,” pungkasnya. (*)