Opini Hidayah Muhallim
Opini Hidayah Muhallim: Berseraknya Kebenaran dan Merebaknya Radikalisme
Di jaman now, kita semua setara dan no one left behind. Semua bisa eksis bersama tanpa hirarki nilai kebenaran, siapa yang lebih tinggi.
Dan anehnya, kebenaran parsial itu memberi peluang bagi eksisnya kelompok identitas atau kelompok kepentingan padahal mereka kontra produktif terhadap kehidupan bersama.
Selain itu, merebaknya identitas kelompok politik, ultra-nasionalis, atau ideologi sektarian yang membawa serta nilai utama dan kepentingan mereka masing-masing sehingga kebenaran itu menjadi domain kelompok secara eksklusif.
Bahwa tidak ada yang patut diviktimisasi atas matinya kebenaran absolut itu. Tetapi serpihan-serpihannya ikut memantik munculnya kebenaran eksklusif yang bisa mendegradasi perkembangan rasionalitas dan kapasitas umat manusia. Dan sialnya hal itu justru mengakibatkan tertundanya scaling-up of human capacity yang akan memperlambat tugas kesejarahan umat manusia untuk membangun peradabannya yang agung.
Salah satu hal yang merisaukan pula dari kokohnya keyakinan akan kebenaran kolektif itu karena diperkuat oleh instrumen indoktrinasi ideologis bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Dimana proses ideologisasi kebenaran kelompok itu semakin leluasa bergerak untuk menginvasi kemerdekaan berpikir rasional yang menghambat pertumbuhan kecerdasan dan pengembangan kapasitas umat manusia.
Bahkan kelompok yang merasa paling benar secara berlebihan itu akan memicu munculnya paham radikalisme dimana mereka yang bukan anggota kelompok dianggap sebagai the others atau outsider yang patut dicurigai, disisihkan, atau ditumpas. Masih lumayanlah jika the others itu dijadikan objek dakwah saja untuk dipengaruhi, diajak, diperdaya, atau ditaklukkan agar mereka bisa ikut bergabung menjadi member.
Paradox Kebenaran
Runtuhnya rezim kebenaran tunggal, absolutisme, dan obyektifitas itu dalam realitas sosial kontemporer menjadi penanda bahwa segala sesuatunya telah menjadi lentur mengikuti arus, situasi, lokus, dan konteks sosialnya.
Satu sisi, pandangan kaum relativis dan kaum post modernis menjadi masuk akal. Tetapi pada saat yang sama kebenaran komunal itu ikut pula merantai kemerdekaan rasionalitas.
Meskipun kekuatan subyektifitas itu telah tertambat lama dalam sejarah dan struktur sosial masyarakat, tetapi baru beberapa dekade belakangan ini mendapatkan perhatian yang lebih dalam wacana kontemporer.
Namun, defisitnya pengaruh kebenaran tunggal, absolutisme, atau obyektifitas itu ternyata memiliki dampak negatif pula bagi perkembangan rasionalitas dan kemerdekaan berpikir.
Sementara kekuatan subyektifitas yang menggantikannya justru berkontribusi pula bagi munculnya supremasi kebenaran parsial dan eksklusif yang kemudian menjadi ideologi kelompok sektarian. Dan ideologi sektarian semacam itu lalu membiakkan paham radikalisme yang mengancam kehidupan bersama yang rukun, damai, dan harmonis.
Jika demikian, apakah kapasitas bawaan umat manusia akan tetap mampu menjaga keseimbangan kehidupan yang terus berdialektika dalam supremasi kebenaran obyektifitas dan subyektifitas itu.
Atau masihkah kita menyisakan kemungkinan lain akan adanya kekuatan beyond human capacity yang akan terus bekerja menjaga keseimbangan kehidupan umat manusia sehingga peran kesejarahan manusia bisa terus berlangsung hingga kini ini dan entah sampai kapan.
Lantas bagaimana menurut anda?(*)