Opini Hidayah Muhallim
Opini Hidayah Muhallim: Berseraknya Kebenaran dan Merebaknya Radikalisme
Di jaman now, kita semua setara dan no one left behind. Semua bisa eksis bersama tanpa hirarki nilai kebenaran, siapa yang lebih tinggi.
Oleh: Hidayah Muhallim
Peneliti Penta Helix Indonesia
dan Sekum MW KAHMI Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM - “Karena kita memang berbeda membuat segala sesuatunya menjadi relatif”.
Demikian kira-kira pandangan dari kaum relativis. Apalagi mereka memang berkeyakinan bahwa “tidak ada kebenaran yang absolut di dunia ini”.
Senada dengan itu, kaum post-modernis menegaskan pula bahwa kini tidak ada lagi “kebenaran tunggal” yang mendominasi kehidupan sosial sepanjang era modern berlangsung.
Di jaman now, kita semua setara dan no one left behind. Semua bisa eksis bersama tanpa hirarki nilai kebenaran; siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain.
Semua kelompok, etnik, suku, ras, serta bangsa-bangsa manapun di dunia akan mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang. Jika semua entitas kelompok sosial bisa eksis, maka betapa damai dan indahnya kehidupan ini.
Apalagi realitas sosial kontemporer memang beragam yang terkonfigurasi dari berbagai unsur nilai, budaya, estetika, keyakinan, dan ideologi. Dimana setiap entitas kelompok sosial itu memiliki nilai utamanya masing-masing yang mesti mendapatkan apresiasi yang sama pula.
Karena kita semua adalah subyek yang merdeka, maka kita pun harus bisa membebaskan diri dari penjara obyektifitas. Kita tak perlu lagi khawatir akan kembalinya rezim kebenaran tunggal, absolutisme atau obyektifitas itu. Semua itu telah lenyap dan berantakan dan kini digantikan oleh kekuatan alternatif dari subyektifitas.
Tetapi, apakah keadaan itu cukup menggembirakan dan patut disyukuri? Ataukah kita masih perlu bersabar sambil mencermati seperti apa konstruksi sosial yang tengah dibangun? Lalu kemanakah kekuatan subyektifitas yang telanjur mengisi wacana sosial kontemporer akan membawa kehidupan umat manusia?
Kerangkeng Rasionalitas
Trend perubahan itu rupanya tidak membuat semua pihak lalu happy. Bahkan sebagian yang lainnya menjadi galau.
Sekalipun dominasi kebenaran tunggal telah berlalu, tetapi mengapa hal itu tidak serta merta meningkatkan rasionalitas masyarakat.
Bahkan kebenaran tunggal yang berserakan itu telah menjadi serpihan-serpihan kebenaran yang cenderung parsial sehingga tidak menjanjikan kemerdekaan baru bagi rasionalitas umat manusia.
Kebenaran parsial itu pun acapkali memicu ketegang sosial. Arogansi kelompok, sikap saling curiga, kebencian, bahkan konflik antar kelompok bisa tiba-tiba muncul tanpa alasan yang jelas.