Opini Abdul Gafar
Opini Abdul Gafar: Panik
Rakyat di negeri ini sudah terlatih menghadapi situasi panik jika terjadi sesuatu yang tiba-tiba berubah.
Sebagai barang yang sangat dibutuhkan, ada SPBU yang memasang pengumuman bahwa stok lagi habis. Padahal mungkin saja mereka menunggu kenaikan harga, kemudian menjualnya lagi. Spekulator yang cerdik melihat kesempatan dalam kesempitan.
Beberapa puluh tahun lalu, penulis sempat merasakan situasi seperti itu.
Timbul rasa panik dengan rencana kenaikan harga BBM. Waktu itu selalu dinyatakan tengah malam keberlakuannya oleh pemerintah.
Malam itu penulis sempat terpengaruh oleh situasi tersebut. Maka penulis mengendarai sepeda motor bebek yang kapasitas tangkinya mungkin hanya mampu menampung 4 liter.
Luar biasa perjuangan malam itu. Antrian begitu panjang dengan aneka jenis kendaraan.
Malam itu jam mulai mendekati pukul 24.00. Pemberlakuan harga baru BBM akan dimulai pukul 00.01. Tampaknya antrian kendaraan masih panjang, waktu telah berpindah ke hari berikutnya.
Akhirnya penulis kembali ke rumah tanpa sempat mengisi BBM karena telah berlaku harga baru. Sebuah pengalaman yang sangat mengesankan.
Hanya untuk mendapatkan 4 liter terpaksa menunggu berjam-jam, akhirnya tidak jadi juga diisi.Sebuah tindakan yang tidak rasional.
Rela menunggu berjam-jam di malam hari yang dingin, ternyata hasilnya harga baru menanti. Padahal selisih harganya tidak terlalu tinggi.
Sekarang, naiknya cukup drastis, masyarakat tetap ke SPBU.
Konon pemerintah harus subsidi hingga ratusan triliun rupiah untuk BBM.
Misalnya saja pertalite perliter seharga Rp. 7.650. Seharusnya untuk mencapai harga keekonomian mestinya dijual sekitar Rp.14 ribuan. Artinya, pemerintah terpaksa menyubsidi sekitar Rp.6 ribuan.
Sekarang setelah dinaikkan menjadi Rp. 10 ribu, artinya pemerintah tetap menalangi sekitar Rp. 4 ribuan perliter.
Kenaikan harga BBM ini pasti diikuti oleh ‘penyesuaian’ harga barang-barang lainnya.
Konon katanya, harga BBM kita masih lebih rendah dibanding negara-negara lainnya di Asean. Tetapi jangan lupa, berapa PDB perkapita mereka dibandingkan kita.
Kelompok yang paling sensitif adalah kalangan mahasiswa. Baru direncanakan kenaikan BBM, mereka sudah berdemo.
Sekarang telah dinaikkan, apakah masih ingin berdemo menurunkan harga BBM ?
Kita akan saksikan hasilnya . (*)