Opini Muh Akbar
Sebelum Memasuki Kuliah: Catatan Retrospeksi
Beberapa kampus di Indonesia telah memulai gelaran penerimaan mahasiswa baru. Dan, ada juga yang belum. Baru bersiap.
Pandemi juga menguak realitas yang seakan tidak berubah, baik pada saat pandemi maupun pasca pandemi. Pendidikan nyatanya masih mahal.
Tidak sedikit protes dilancarkan oleh kalangan mahasiswa semasa pandemi merespon keadaan yang tidak adil bagi mereka itu.
Mulai dari penggunaan hashtag sampai gerakan langsung yang vis to vis dengan para pemangku kepentingan.
Hasilnya dari gerakan tersebut beragam, namun tidak banyak yang berubah, uang kuliah tunggal/uang pangkal tetap mahal.
Ketika memasuki perkuliahan pada masa pasca pandemi, keadaan akan diasumsikan kembali normal atau dalam terma kekinian akan dianggap “new normal”, pada saat yang bersamaan, uang kuliah tunggal—sebagai salah satu “masalah” yang terbayang ketika berbicara mengenai pendidikan mahal—akan menjadi “mahal” kembali selayaknya pra-pandemi.
Meski kondisi masyarakat dari berbagai dimensi belum pulih sepenuhnya (utamanya dimensi sosial dan ekonomi).
Namun, kebijakan penormalan uang kuliah tunggal tetap diberlakukan, di sisi lain, kebijakan pengurangan, diskon, ataupun bebas uang kuliah tunggal lambat laun tidak terdengar lagi kabarnya.
Kampus (Masih) Belum Aman
Dan terakhir, sebagai catatan retrospeksi ini penulis menilik beberapa kasus yang baru-baru terjadi di kalangan mahasiswi(a), dan agaknya mahasiswi(a) yang belajar kota Makassar dan sekitarnya erat dengan situasi semacam ini.
Beberapa waktu yang lalu, publik sempat heran, kalau bukan bingung, terhadap apa yang terjadi di kampus-kampus di Kota Makassar.
Selewiran wacana menghambur tentang beberapa hal seperti kekerasan seksual sampai praktik pelonco yang menimbulkan korban jiwa.
Dan hal ini menimbulkan tanda tanya besar sebenarnya, apakah memang kampus menjadi ruang yang aman bagi para penghuninya? atau justru, ruang semacam kampus itu lah yang punya potensi paling berbahaya karena sifatnya yang eksklusif dan otonom?
Meski begitu, sebenarnya kampus tidak diam. Beberapa regulasi dan pengawasan tetap dilakukan terkait dengan praktek kekerasan, bahkan yang sifatnya langsung dari arahan pemerintah pusat.
Lalu, kalau sudah seperti ini, siapa yang mesti disalahkan, Mahasiswanya? Lantas, ketika kondisi perkuliahan telah mulai lagi, apakah peristiwa-peristiwa itu justru akan terus berulang?–yang notabene sama saja ketika semasa pra-pandemi–atau kadarnya
akan menurun?
Penutup
Apa yang tertera di sini hanyalah catatan retrospeksi penulis yang kebanyakan berangkat dari pengalaman dan situasi terkini di dunia perkuliahan di mana penulis menimba ilmu di sana.
Tentunya setiap dari kita memiliki perbedaan atas kondisi yang dialami semasa berkuliah.
Adapun ketika tulisan sederhana ini akrab dengan pembaca, hal itu mungkin hanyalah kebetulan di antara beragamnya cerita yang ada.(*)