Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Muh Akbar

Sebelum Memasuki Kuliah: Catatan Retrospeksi

Beberapa kampus di Indonesia telah memulai gelaran penerimaan mahasiswa baru. Dan, ada juga yang belum. Baru bersiap. 

TRIBUN TIMUR
Logo Tribun Timur - opini berjudul Sebelum Memasuki Kuliah: Catatan Retrospeksi 

Oleh: Muh Akbar
Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin yang berminat pada isu sosial-politik

TRIBUN-TIMUR.COM - Tidak lama lagi tahun ajaran baru akan menghampiri kita semua.

Beberapa kampus di Indonesia telah memulai gelaran penerimaan mahasiswa baru. Dan, ada juga yang belum.
Baru bersiap. 

Para mahasiswa dan mereka yang hidup dan matinya dipertaruhkan di lingkungan pendidikan seperti dosen dan mace kantin pastinya menanti momen semacam ini, entah dengan euforia tertentu atau temaram yang sendu.

Yang jelasnya arena belajar pada tahun kali ini kemungkinan akan menemukan bentuk lazimnya yang selama ini pernah dinikmati, meskipun suasananya tidak sama seperti pada masa pra-pandemi. 

Maka dari itu, ada beberapa catatan retrospeksi penulis yang kiranya bisa menjadi ulasan atau bahan diskusi kita dalam menghadapi arena belajar di tahun ajaran baru ini. 

Pergeseran Otoritas Ilmu Pengetahuan

Berlangsungnya pandemi kemarin seakan menjadi pukulan telak terhadap otoritas pengetahuan.

Dosen dengan gelar yang beragamnya kerap dikukuhkan secara formal maupun kultural sebagai representasi sang cendekia yang seturut itu memiliki unsur otoritatif terhadap ilmu pengetahuan di dalamnya.

Maka dengan logika semacam itu, kita kerap merujuk pada pengajaran, petuah, atau bahkan gaya hidup mereka yang entah terjadi di kelas atau di luar ranah itu sebagai upaya memamah dan menyerap sesuatu yang kita anggap sebagai ilmu pengetahuan. 

Bagaimana tidak, pergeseran medium belajar dan terbukanya akses terhadap pengetahuan melalui internet seakan meruntuhkan posisi dosen sebagai yang otoritatif. 

Sekarang, sumber ilmu pengetahuan tersebar di berbagai medium internet seperti Instagram dan Youtube dengan bentuk beragam berupa Mikroblog, Vlog, Video Monolog, Siniar, dsb.

Di sisi lain hal itu dieksekusi secara kreatif dan kreatif. Lalu, poin terakhir, mereka mudah diakses. 

Pendidikan Masih Mahal

Selain menggeser sumber belajar yang semula bersemayam di kampus dan sekarang telah tersebar dimana-mana, khususnya di Internet.

Pandemi juga menguak realitas yang seakan tidak berubah, baik pada saat pandemi maupun pasca pandemi. Pendidikan nyatanya masih mahal. 

Tidak sedikit protes dilancarkan oleh kalangan mahasiswa semasa pandemi merespon keadaan yang tidak adil bagi mereka itu.

Mulai dari penggunaan hashtag sampai gerakan langsung yang vis to vis dengan para pemangku kepentingan.

Hasilnya dari gerakan tersebut beragam, namun tidak banyak yang berubah, uang kuliah tunggal/uang pangkal tetap mahal.
Ketika memasuki perkuliahan pada masa pasca pandemi, keadaan akan diasumsikan kembali normal atau dalam terma kekinian akan dianggap “new normal”, pada saat yang bersamaan, uang kuliah tunggal—sebagai salah satu “masalah” yang terbayang ketika berbicara mengenai pendidikan mahal—akan menjadi “mahal” kembali selayaknya pra-pandemi. 

Meski kondisi masyarakat dari berbagai dimensi belum pulih sepenuhnya (utamanya dimensi sosial dan ekonomi).

Namun, kebijakan penormalan uang kuliah tunggal tetap diberlakukan, di sisi lain, kebijakan pengurangan, diskon, ataupun bebas uang kuliah tunggal lambat laun tidak terdengar lagi kabarnya. 

Kampus (Masih) Belum Aman

Dan terakhir, sebagai catatan retrospeksi ini penulis menilik beberapa kasus yang baru-baru terjadi di kalangan mahasiswi(a), dan agaknya mahasiswi(a) yang belajar kota Makassar dan sekitarnya erat dengan situasi semacam ini. 

Beberapa waktu yang lalu, publik sempat heran, kalau bukan bingung, terhadap apa yang terjadi di kampus-kampus di Kota Makassar.

Selewiran wacana menghambur tentang beberapa hal seperti kekerasan seksual sampai praktik pelonco yang menimbulkan korban jiwa. 

Dan hal ini menimbulkan tanda tanya besar sebenarnya, apakah memang kampus menjadi ruang yang aman bagi para penghuninya? atau justru, ruang semacam kampus itu lah yang punya potensi paling berbahaya karena sifatnya yang eksklusif dan otonom? 

Meski begitu, sebenarnya kampus tidak diam. Beberapa regulasi dan pengawasan tetap dilakukan terkait dengan praktek kekerasan, bahkan yang sifatnya langsung dari arahan pemerintah pusat. 

Lalu, kalau sudah seperti ini, siapa yang mesti disalahkan, Mahasiswanya? Lantas, ketika kondisi perkuliahan telah mulai lagi, apakah peristiwa-peristiwa itu justru akan terus berulang?–yang notabene sama saja ketika semasa pra-pandemi–atau kadarnya
akan menurun? 

Penutup

Apa yang tertera di sini hanyalah catatan retrospeksi penulis yang kebanyakan berangkat dari pengalaman dan situasi terkini di dunia perkuliahan di mana penulis menimba ilmu di sana.

Tentunya setiap dari kita memiliki perbedaan atas kondisi yang dialami semasa berkuliah. 

Adapun ketika tulisan sederhana ini akrab dengan pembaca, hal itu mungkin hanyalah kebetulan di antara beragamnya cerita yang ada.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved