Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Juanto Avol

Kurban dan Politik Korban

Mendayu-sayu suara takbir, begitu lirih dalam qalbu peserta haji. Mereka orang-orang pilihan Tuhan, sebagai barisan "jannah" kelak dikemudian hari.

DOK PRIBADI
Juanto Avol, Komisioner Bawaslu Gowa, Div. Pengawasan & Hubungan Antar Lembaga 

Ia mesti legowo dilepaskan sebagai perwujudan ujian cinta kepada ilahi atas perintah "ayat-ayat cintaNya" dari yang Maha penyayang.

Bahkan sebenarnya, bila dikaji lebih dalam makna kurban itu sendiri seyogyanya bisa didorong menjadi sebuah produk-produk kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tentu melibatkan para alim ulama dan pemangku kebijakan. Produk kebijakan itu nantinya membuat rakyat tetap hidup sebagai warga negara.

Bukankah negara ini harus menjamin kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama?
Menyembelih mati hewan kurban, tentu sebagai sunnah kesucian agama, disisi lain mereka yang mampu dan mapan harus menghidupkan yang papah demi nilai-nilai kemanusiaan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang agung.

Saya meminjam istilah Albert Einstein, bahwa "Hidup itu suci, hidup adalah nilai paling tinggi dimana semua nilai yang lain merupakan subordinat." Maka sepatutnya, semua mesti menumbuhkan nilai-nilai kehidupan itu.

Akhir-akhir ini di tahun-tahun politik, timbul hal lain yang menggelitik. Sering kita jumpai momentum kurban dijadikan sebagai ruang sosialisasi para peminat tampuk kursi kekuasaan. Mereka benar wujud dalam ucapan selamat hari raya kurban.

Berbagai media dan sarana pun dipakai. Ia tak canggung memampangkan wajahnya dalam spanduk, bersama seekor hewan kurban.

Tak segan dipelataran rumah ibadah dan posko penerimaan hewan kurban, terang benderang mempertontonkan diri, sumringah bersama gambar sapi dan kambing. Mungkin itu pesan, bahwa kelak dialah calon pemimpin yang selalu berkurban dan berkorban demi konstituen.

Itu tidak keliru, namun akan ada rambu yang mengaturnya. Rakyat harus sadar, tahapan Pemilu kini sedang berlangsung, ruang itu harus dibedakan, antara berkurban dan korban.

Elit politik dan kelompoknya harus memberi contoh positif, sebagi edukasi politik yang sehat dalam konteks berdemokrasi.

Berkurbanlah dalam urusan agama tanpa mempolitisir, dan jangan sampai tega menjadikan warga sebagai korban politisasi. Sebab, acap kali sapi sudah melayang, suara diraup, terduduklah dia di kursi kekuasaan tapi janji politik tinggallah kenangan, bisa jadi ia telah mati bersama binatang kurban.

Laku itu memang berat, kerelaan berkurban dan berkorban bukanlah hal mudah, mungkin karena iblis masih bersileweran dalam benak kita, menggembosi dengan hasutan, seolah sebagai sebuah ketakutan hilangannya nikmat kekuasaan.

Iblis tau betul, kurban dan korban beda tipis. Kurban (Qurban) identik dengan urusan ukhrawi, kepatuhan, ketaatan, kesucian dan keikhlasan sebagai jalan petunjuk dari ilahi. Sedangkan korban politisasi, sederhana saja istilahnya saya sebut sebagai "lingkaran syetan". Syetan itu kaki tangan iblis, dia benar-benar nampak dan nyata, pembisik dihati manusia yang menaruh rasa rugi di dada setiap insan.

Mereka merasa tekor jika kehilangan jabatan, kuasa dan materi duniawi.
Maka ber-qurban-lah untuk kehidupan sosial yang sesungguhnya, sebab itu meninggikan nilai kesucian hidup.

Lalu lemparkan prilaku korbanan (merasa rugi) itu jauh-jauh dalam lingkaran kehidupan kita. Ia mesti dibuang, agar kesalehan sosial terwujud dalam tindakan dan kuasa jabatan, ia mesti didorong sebagai kekuatan bersama membangun pemahaman konstruktif yang mengantarkan ummat dalam barisan "surgawi".

Semoga dihari yang fitrah idul ad'ha, kita kembali pada ketaatan, kesholehan sosial nun suci bersama keluarga tercinta, membersamai dalam lingkaran jamaah haji mabrur. (*)

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved