Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Nasrullah Mappatang

PSM sebagai Jembatan Nostalgia Ingatan

PSM Makassar melewati lawatan terakhirnya di Kuala Lumpur, Malaysia pada Senin malam (27/6).

DOK PRIBADI
Alumnus Fakultas Sastra UNHAS, Mahasiswa Doktoral Universiti Malaya, Malaysia, Nasrullah Mappatang. Penulis opini di Tribun Timur berjudul PSM sebagai Jembatan Nostalgia Ingatan edisi terbit Rabu (29/6/2022). 

Oleh: Nasrullah Mappatang
Alumnus Fakultas Sastra UNHAS, Mahasiswa Doktoral Universiti Malaya, Malaysia

TRIBUN-TIMUR.COM - PSM Makassar melewati lawatan terakhirnya di Kuala Lumpur, Malaysia pada Senin malam (27/6).

Melawan Tampines Rovers, klub asal Singapura, PSM berhasil membawa pulang tiga poin penuh dengan kemenangan 1-3 di Stadion Sepakbola Kuala Lumpur, yang belokasi tepat di depan Rumah Sakit Universitas Kebangsaan Malaysia, Cheras, Kuala Lumpur itu.

Sebelumnya, Jumat (24/6) PSM berbagi angka dengan tuan rumah Kuala Lumpur City FC, dengan skor tanpa gol hingga usai pertandingan.

Kini, PSM tinggal menunggu hasil KL City FC melawan Tampines Rovers pada 30 Juni mendatang.

Selain pertandingan yang menegangkan lagi membuat haru biru para penonton, hal - hal di luar lapangan hingga di luar stadion juga tak kalah menariknya.

Penulis sebagai penonton, bahkan penggemar PSM sejak era Ali Baba dan Luciano Leandro memperkuat PSM, tak bisa menahan nostalgia ke-PSM-an puluhan tahun silam itu.

Sebagai anak kampung tak pernah terpikirkan bisa menonton PSM di stadion.

Jangankan di stadion bertahan International di Kuala Lumpur, di stadion Mattoanging Makassar saja tak pernah terbersit sedikitpun, kala itu.

Di masa kecil di kampung, boleh dikata, pertandingan PSM saya nikmati pertama kali bukan di dalam stadion Mattoanging Makassar, bukan pula di layar kaca hitam putih milik tetangga paling mampu di masa itu.

Melainkan, dari stasiun RRI melalui Radio berbentuk persegi, bertenaga baterei milik paman — kakak daripada almarhum bapak saya.

Pagi hingga jelang sore baterei radio sudah harus dijemur di teras rumah dan dipastikan tidak terkena hujan sepanjang hari.

Sore hari jelang Sholat Ashar, baterei itupun harus didinginkan kemudian di pasang di radio untuk mendengarkan dengan seksama lagi mendebarkan kala Luciano Leandro mengancam lalu menjebol gawang lawan, ataupun Ansar Abdullah berjibaku bersama bek legendaris PSM, Ali Baba dan Syamsuddin Batola mengamankan gawang PSM agar tidak kebobolan.

Ingatan – ingatan itu terekam seketika kala duduk bersama istri tercinta menatap rumput hijau di Stadium Bola Sepak Cheras, Kuala Lumpur, yang berjarak sekitar sepuluh menit dari tempat tinggal kami.

Ingatan Sejarah

Harus diakui, PSM memang adalah sejarah bagi warga kota Daeng dan masyarakat Sulawesi Selatan itu sendiri.

Entah apa sebab, sekat antardaerah dan antar-etnis di Sulsel akan melebur ketika berbicara tentang PSM.

PSM bukan milik orang Makassar atau warga kota Makassar semata, melainkan Sulawesi Selatan.

Bahkan, dan ini yang sepertinya tidak banyak dibicarakan, PSM saat ini adalah milik orang - orang di luar Sulawesi Selatan kala mewakili Indonesia di laga antar-klub antar-negara.

Terlebih lagi, PSM telah hinggap di hati orang - orang yang pernah bersentuhan dengan kota Daeng, Makassar, sekalipun mereka bukanlah yang terafiliasi dengan salah satu etnik di Sulsel.

Juga, PSM ada di hati para perantau asal Sulsel, yang bertebaran mencari rezeki dan menuntut ilmu di seluruh pelosok Nusantara, bukan hanya di Indonesia, tapi juga Asia Tenggara, termasuk di Malaysia.

Itulah yang saya rasakan kala melakoni kepenontonan dua hari belakangan.

PSM memberikan “jembatan nostalgia” kepada kampung halaman, tanah kelahiran, dan kampus kebanggaan bersama para senior, teman kuliah dan teman KKN, hingga suporter, official, dan pemain yang ditemui di stadion.

Asal mampu berlogat (baca: dialek) Makassar, secepat itu kita bisa akrab dan berbagi cerita. Minta foto dan minta tolong ambil fotopun jangan ditanya. Semua bisa dan lancar.

Tanah rantau memang mengajarkan kita akan refleksi untuk saling bersesama.

Sembari menjembatani dan menjaga ingatan tentang kota Daeng, Makassar, hingga ke tanah kelahiran.

Meminjam istilah, meski tak sama konteks persis, dari Arjun Appadurai, penulis mengalami nostalgia ingatan yang dibayangkan (imagined nostalgia of memory) di masa lalu tentang PSM, Makassar, dan tanah kelahiran.

Kembali Dikenal Dunia

Media baru, khususnya kanal YouTube, selain media cetak dan elektronik yang sudah mapan, rupanya menjadikan nama PSM dan Makassar semakin dikenal dunia satu minggu terakhir.

Terkhusus untuk kawasan Asia Tenggara. Bukan apa pasal, di Dunia Internasional, orang – orang boleh dikata kebanyakan mengenal nama Jakarta dan Bali saja.

Belakangan sedikit mengenal nama Lombok, selain karena objek wisatanya, Lombok, khususnya Mandalika ramai dikenal dunia antarbangsa karena gelaran MotoGP beberapa waktu lalu.

Setidaknya, dengan berhasil menahan imbang KL City FC (24/6) dan mengalahkan Tempines Rovers Senin malam (27/6), PSM Makassar ramai diberitakan oleh media – media Internasional di Malaysia dan Singapura.

Belum lagi media – media asing yang berkantor di kedua negeri jiran itu.

Dalam amatan penulis, setidaknya ada tiga bahasa asing dari media yang mewartakan kemenangan PSM atas Tempines Rovers dan hasil Imbang kontra Kuala Lumpur City FC, yakni bahasa Melayu, Arab dan Inggris.

Artinya, nama PSM dan Kota Daeng Makassar dikenal dunia, khususnya penggila Bola Asia Tenggara, sebagai klub dan kota yang diseganil.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved