Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Headline Tribun Timur

Pemerintah Terpaksa Cabut Subsidi Listrik karena Tekanan Perang Rusia-Ukraina

Dampak perang Rusia-Ukraina semakin dirasakan oleh warga hingga pelosok Sulawesi Selatan (Sulsel). Listrik mulai terdampak perang.

Dok PLN via Kompas.com
Ilustrasi meteran listrik PLN 

TRIBUN-TIMUR.COM - Dampak perang Rusia-Ukraina semakin dirasakan oleh warga hingga pelosok Sulawesi Selatan (Sulsel). Listrik mulai terdampak perang.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, Senin (13/6/2022), mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

Perang Rusia-Ukraina disebut mengerek lonjakan harga komoditas.

Asumsi makro dari pemerintah pun meleset, sehingga dikhawatirkan bakal menyebabkan defisit APBN semakin melebar.

Pilihannya pahit, pencabutan subsidi.
Maka, setelah Gas Elpiji dan Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah memutuskan mencabut subsidi listrik.

Akibat pencabutan subsidi listrik tersebut, tarif dasar listrik (TDL) golongan rumah tangga R2 (3.500 VA hingga 5.500 VA) dan R3 (6.600 VA hingga ke atas) naik.

Kenaikan TDL juga berlaku bagi golongan sektor pemerintah (P1/6.600 VA, P2/200 KVA, P3/TR).

"Berlaku mulai 1 Juli. Sekarang masih berlaku tarif lama," kata Rida Mulyana.

Rida menjelaskan, pelanggan listrik PLN non subsidi saat ini ada 13 golongan. Sementara, penyesuaian ini hanya diterapkan pada 5 golongan.

"Jadi, tarif listrik yang disesuaikan adalah R2, R3, P1, P2, dan P3 saja," ungkap Rida.

Rida memaparkan, tarif listrik baru akan berlaku bagi pelanggan rumah tangga R2 dengan daya listrik 3.500 VA sampai 5.500 VA dan R3 dengan daya 6.600 VA ke atas.

Kemudian, kenaikan tarif listrik juga berlaku bagi kantor pemerintahan golongan P1 dengan daya 6.600 VA sampai 200 kVA, P2 dengan daya di atas 200 kVA, dan P3.

Sementara tarif listrik untuk rumah tangga naik dari Rp1.444,7 per kWh menjadi Rp1.699 per kWh.

Dengan kata lain, biaya listrik akan naik 17,64 persen.

Tarif itu juga berlaku bagi kantor pemerintahan golongan P1 dengan daya 6.600 sampai 200 kVA.

Namun, untuk kantor pemerintahan P2 dengan daya lebih dari 200 kVA, tarif listrik akan naik 36,61 persen dari Rp1.114,7 kWh menjadi Rp1.522 kWh.

Rida menambahkan, kenaikan tarif listrik untuk golongan tersebut akan menghemat APBN Rp3,5 triliun.

Ia juga menyebut kenaikan tarif listrik ini hanya berdampak 0,01 persen terhadap inflasi. Hal itu berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Dampak ke inflasi 0,01 persen, tidak terlalu berdampak," jelas Rida.

Penyesuaian tarif listrik ini dilakukan setelah pemerintah menimbang sejumlah indikator makro.

Rida mengatakan, pelanggan rumah tangga yang tarifnya disesuaikan adalah pelanggan golongan menengah atas.

"Yang kita sesuaikan rumah tangga menengah atas, nyaris mewah," ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah sengaja menaikkan tarif listrik karena harga komoditas terus menanjak di tengah perang Rusia-Ukraina.

Sebagai gambaran, harga minyak mentah mendekati US$100 per barel atau jauh lebih tinggi dari asumsi di APBN 2022 yang hanya US$63 per barel.

"Harga ICP kan berkisar US$100 per barel, tapi asumsi di APBN US$63 per barel. Maka perlu ada penyesuaian," ujarnya.

Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, mengatakan kenaikan tarif listrik ini hanya berlaku bagi 2,09 juta 'orang kaya' atau pelanggan dari golongan rumah tangga mampu.

Darmawan menjelaskan angka itu setara dengan 2,5 persen dari total pelanggan PLN yang mencapai 83,1 juta.

"Total pelanggan (rumah tangga) terdampak 2,5 persen dari total pelanggan," ungkap Darmawan.

Selain itu, pemerintah juga menaikkan tarif listrik untuk 373 ribu pelanggan golongan pemerintah.

Angka itu setara dengan 0,5 persen dari total pelanggan.

Darmawan mengatakan, PLN sudah lama tak melakukan penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yakni sejak 2017.

Padahal, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) terus berfluktuasi.

ICP sekarang sudah mendekati U$100 per barel. Harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi di APBN 2022 yang hanya US$63 per barel.

Akibatnya, kata Darmawan, kompensasi listrik dari pemerintah yang tak tepat sasaran mencapai Rp4 triliun.

"Jadi selama dari 2017 sampai 2022 ini tidak ada automatic tariff adjustment. Untuk itu biaya produksi listrik tentu berfluktuasi dengan ada eksternal faktor salah satunya kenaikan ICP," ungkap Darmawan.

Pemerintah tak mengubah tarif listrik, yakni tetap US$1.444 per kWh sejak beberapa tahun terakhir.

Hal ini berlaku bagi rumah tangga dengan daya rendah 900 VA sampai 6.600 VA ke atas.

"Tarif listrik Rp1.444 per kWh, biaya pokok naik karena faktor eksternal menjadi Rp1.699 per kWh. Ini ada porsi Rp255 per kWh yang disalurkan ke ekonomi keluarga mampu yang kemudian diputuskan pemerintah secara filosofis bantuan pemerintah yang kurang tepat sasaran," tutur Darmawan.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved