Breaking News
Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Dwi Rezki Hardianto

KKN di Desa Penari sebagai Otoritas Simbolik

Pada awalnya cerita KKN di Desa Penari (kemudian disebut KDDP) adalah kisah horor yang dicitrakan dan disebarluaskan melalui twitter.

DOK PRIBADI
Alumnus Magister Sastra FIB UGM, Dwi Rezki Hardianto SS MA 

KDDP adalah ruang antara yang mampu meleburkan paradigma fiksi dan fakta.

Artinya, dirinya menjadi medan perjumpaan di antara kedua paradigma itu. Setidaknya peleburan itu melalui tiga hal, yaitu refleksi berulang karakter khususnya Nur, Widya dan Ayu, repetisi peristiwa, hingga disnarasi.

Ketiganya tentu menciptakan eventfulness (kepenuh-peristiwaan) yang membuat pembaca terbenam di dalam teks itu sendiri. Hal yang menarik dari ketiga tersebut adalah adanya disnarasi.

Konsep disnarasi adalah strategi penceritaan peristiwa yang sengaja disembunyikan sehingga pembaca mengalami ketidakjelasan atas peristiwa-persitiwa tertentu. Misalnya, ketika anak-anak KKN dilarang keras untuk memasuki “Tipak talas” oleh Pak Prabu.

Namun, pak Prabu enggan menceritakan alasannya lebih jauh. Tujuan dari penangguhan makna itu agar pembaca dapat terlibat penuh menelusuri belantara teks hingga selesai.

Namun, menurut saya juga disnarasi adalah salah satu strategi untuk menjadikan cerita itu tetap hidup, bahkan mampu melampaui imajinasi fiksi itu sendiri. Misalnya disnarasi penokohan hingga setting tempat—Kota J, Kota B, Desa W, Hutan D**** dan lain sebagainya.

Sebelum menjadi film, disnarasi ini tentu menjadi sebuah ruang identifikasi yang diimajinasikan lebih jauh oleh pembaca (audiens) sebagai subjek. Imajinasi itu tentu tersebar di media sosial—dengan beragam asumsi penanda.

Ada yang mengatakan berada di banyuwangi, di jawa tengah dan masih banyak lagi dengan menyamakan penanda-penanda ritus-ritus budaya dalam KDDP.

Selan itu, untuk penokohan ada yang mengatakan ini adalah fakta dengan beredarnya foto-foto lawas mahasiswa KKN dengan lokasi—diasumsikan—sama.

Padahal apa yang ditangkap oleh pembaca (audiens), mungkin saja tidak benar keberadaanya di realitas kita.

Otoritas Simbolik

Saya menggap bahwa KDDP telah menjadi rezim atau otoritas kebahasaan yang mampu mengintervensi dan mengeksklusi imajiner subjek (penonton).

Gagasan tersebut ibarat the name of father atau ayah oedipus dalam paradigma psikoanalisis. Sebenarnya, saya telah mengasumsikan hal tersebut, sejak KDDP menjadi novel apalagi saat dirilis pertama kali untuk menjadi film.

Ketika KDDP ditayangkan ke layar lebar, saya berpikir bahwa apa yang dicitrakannya ibarat otoritas makna yang berusaha mengintervensi imajinasi kita.

Kehadiran beberapa setting tempat dengan jelas dan karakteristik penokohan dalam film menjadi satu makna yang dicitrakan cukup terang—meskipun Widya di akhir film mengatakan “semuanya harus disamarkan”, tetapi pernyataan itu justru menegasikan bahwa KDDP adalah sebuah kenyataan.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rusuh

 

Rusuh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved