Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Oligarki dan Industri Kekuasaan

Dalam perjalanannya oligarki, bukan hanya berorientasi kekuasaan, tetapi juga sudah menjadi industri yang berorientasi politik dan ekonomi.

Editor: Sudirman
DOK TRIBUN TIMUR
Dosen FISIP Unismuh Makassar dan anggota Forum Dosen Majelis Tribun Timur, Amir Muhiddin 

Amir Muhiddin

Dosen Fisip Unismuh Makassar

Semula monarki, kemudian menjadi demokrasi dan berkembang menjadi Oligarki.

Dalam perjalanannya oligarki, bukan hanya berorientasi kekuasaan, tetapi juga sudah menjadi industri yang berorientasi politik dan ekonomi.

Terutama untuk menjaga, mengamankan dan mengembangkan harta para pemodal besar atau konglomerat agar tidak terdistribusi ke kelompok.

Selain kelompoknya sendiri, termasuk ke negara yang kurang menguntungkan baginya.

Dengan begitu point penting oligarki adalah “harta dan kuasa”.

Oligarki seperti inilah yang memudarkan mimpi Presiden Soeharto di masa orde baru untuk menciptakan pemerataan pembangunan.

Tentu saja selain pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas politik yang mantap dan terkendali.

Oligarki yang satu tahum terakhir ini sering diperbincangkan, sebenarnya muncul di masa orde baru tanpa sengaja, artinya oligarki itu adalah kecelakaan sejarah orde baru.

Di mana Pak Harto yang semula ingin membangun dengan menggunakan skala prioritas dan meminjam teori pembangunan model Trickle down effect ternyata gagal karena tidak bisa menjinakkan para konglomerat yang ia sangaja ciptakan sendiri.

Semula Pak Harto berharap bahwa konglomerat yang ia bentuk itu suatu saat akan meneteskan kekayaannya ke lapis kedua yang disebut kelas menengah.

Lalu menetes lagi ke kelas di lapis ketiga dan seterusnya, ternyata sekali lagi gagal, karena kekuasaan pak Harto tidak cukup untuk membuat regulasi yang ketat agar para konglomerat tidak melarikan hartanya ke luar negeri.

Oligarki yang terbangun dan disorientasi selama beberapa pelita di masa orde baru.

Ternyata semakin hari semakin tak terkendali dan dampaknya secara ekonomi justru melahirkan kesenjangan yang semakin melebar.

Kebijakan inilah yang balik menyerang pak Harto, karena rakyat dan sebagian aktifis sudah bosan menunggu kue pembangunan yang sejak pelita ketiga sudah tertuang dalam GBHN untuk menciptakan pemerataan pembangunan.

Stabilitas yang mantap dan terkendali sebagai syarat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pada gilirannya akan menciptakan pemerataan pembangunan ternyata lain akhirnya.

Endingnya yang terjadi justru stabilitas pada diri dan kelompok para konglomerat yang terjaga ditambah lagi dukungan TNI, terutama Angkatan Darat dan para Teknorat yang juga memperoleh keuntungan di dalamnya.

Terjadilah persekongkolan politik antara konglomerat, TNI dan Teknokrat yang belakangan disebut sebagai oligarki.

Andai saja ada kelompok masyarakat semisal civil society yang bergabung disitu, mungkin inilah yang disebut Governance yang deskruptif.

Mosca sejak lama menyebut bahwa pemerintahan yang baik hanya bisa terjadi ketika yang memimpin itu jauh lebih kecil dibanding dengan yang dipimpin.

Ketika saya berdiskusi dengan sahabatku Andi Luhur ternyata justru memberi penguatan pada pernayatan Mosca di atas bahwa disetiap kelompok besar pasti ada kelompok kecil dan kelompok kecil ini selalu berupaya untuk menguasai berbagai sumber daya (resources) yang dimiliki oleh kelompok besar.

Tujuannya adalah agar mereka bisa berkuasa dan memnguasai berbagai sumber daya, termasuk kelompok yang besar itu.

Jadi kehadiran oligarki sesungguhnya adalah wajar dan itu adalah realitas politik oleh sebab itu oligarki adalah sebuah keniscayaan.

Sayangnya karena acapkali oligarki itu tidak terkendali dan bisa menjadi industri kekuasaan, kalau ini berlangsung lama.

Bukan tidak mungkin pemerintahan akan menjadi new liberalism, melebihi liberalisme yang selama ini ada di Amerika dan Negara-negara Eropah lainnya.

Pasca reformasi, terutama sejak pemilihan langsung dilakukan, baik itu pemilihan presiden, pemilihan gubernur, bupati dan walikota, serta pemilihan legislatif disemua tingkatan, nampaknya oligarki semakin menemukan dirinya sebagai pilihan rasional (public choice).

Hal ini dimungkinkan karena kompetisi yang luar biasa sengit ditambah lagi munculnya calon pemimpin a-historis yang tidak punya rekam jejak kepemimpinan.

Calon seperti inilah yang seringkali mengandalkan kemampuan finansial untuk menutup kekurangannya, terutama karena kurang populer, kurang populis dan kurang elektabilitas.

Kompetisi antar kandidat yang ketat, persaingan memperoleh simpati masyarakat serta dukungan partai politik tentu memerlukan kolaborasi, terutama suntikan dana yang besar dari para pemodal yang belakangan sering disebut cukong.

Disinilah berawal atau emrio lahirnya oligarki yang oleh banyak ahli menyebutnya sebagai starting point tumbuh kembang industri kekuasaan di Indonesia.

Fenomenan ini bahkan sudah berlangsung sejak orde baru dan menampakkan wajahnya yang lebih transparan dimasa reformasi ini.

Fenomena ini pun berlangsung disemua tingkatan, dari pusat sampai ke daerah, bahkan di level pemilihan kepala desa sekalipun.

Industri kekuasaan, sebagai anak kandung oligarki politik diperkirakan akan berlangsung terus karena beberapa hal, pertama karena ada permintaan dan ada penawaran atau supplay and demand.

Ada pemodal dan kandidat yang punya elektabilitas tinggi tetapi kurang gizi. Kedua adalah pemilih miskin yang jumlahnya besar, baik itu miskin iman maupun miskin harta.

Mereka ini adalah sasaran empuk dari tim sukses yang kerjanya melakukan serangan fajar dan serangan terbenam, sebut saja money politic.

Ketiga, partai politik yang seringkali berubah menjadi coorporate yang menjual kewenangannya kepada kandidat untuk mendapatkan kendaraan poliik.

Keempat adalah para pemodal secara naluriah selalu ingin mengamakan diri dan hartanya.

Oleh sebab itu mereka akan berupaya untuk masuk ke dalam area politik ring satu agar bisa mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan diri dan hartanya.

Kalau tidak menjadi penguasa, mereka akan berupaya untuk mengendalikan penguasa-melalui jebakan betmen, artinya mendanai kandidat sampai menjadi penguasa, lalu dia kendalikan bak boneka, inilah yang disebut oligarki sebagai industri kekuasaan.

Mudah-mudahan industri kekuasaan ini bisa berubah ke arah yang positif, kembali ke jalan yang benar, dan menyelamatkan bangsa dan negara dari keterpurukan.

Sehingga negeri yang subur dan kaya akan berbagai sumber daya alam ini bisa dinikmati secara inklusif oleh semua warga negara. Amin!(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved