Opini Tribun Timur
Ke Timtim, Ditinggalkan Kapal di Maumere
“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun”. Teman dan sahabat, Drs.Aspianor, Masrie M.Si berpulang dua tiga hari silam.
Soalnya ada seorang cewek dalam rombongan kami yang harus menginap di kamar tersendiri.
Setelah mondar-mandir menanyakan penginapan, kami tiba pada suatu penginapan yang mirip asrama.
Di aula besarnya tidak ada kamar-kamar, hanya sebuah ruang besar dengan tempat tidur bersusun dua.
Selama perjalanan, almarhum termasuk irit berbicara. Kalau berbicara, apa adanya.
Dia seorang yang pendiam. Nanti ada hal-hal yang bernada humor baru dia nimbrung tertawa atau menimpali pembicaraan.
Kelihatan dia sangat berwibawa dan percaya diri. Menurut catatan dari namanya, dia termasuk memiliki sifat mandiri. Dan tertarik secara fisik pada orang lain.
Di tengah kesibukan menjelajah berjalan di kota Larantuka yang merupakan wilayah asing bagi saya khususnya, Aspianor tetap diam.
Dia dan teman-teman mengikuti saja langkah saya. Termasuk ketika kami nyelonong pada sebuah penginapan yang berupa bangsal.
’’Ima, kamu tidur di lantai dua sini, saya di bagian bawahnya,’’ kata saya kepada mahasiswa Sosiologi Unhas yang nama aslinya Fatimah tersebut, yang segera mengikutinya.
Ima selalu memanggil saya ’’kakak’’, karena memang saya lebih tua belasan tahun. Selama perjalanan, Ima bagaikan bendahara.
Dia-lah yang mengatur pengeluaran uang selama perjalanan menuju Kupang, Timor menggunakan kendaraan, mulai dari mobil hingga feri dan bus ke Timor Timur.
Siang keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan dengan feri ke Kupang.
Sepanjang malam, membaringkan badan di atas dek terbuka bagian belakang feri, saya tersiksa oleh dingin yang terkirim lewat angin laut yang bersedir.
Di badan hanya melekat baju lengan pendek tanpa jaket.
Beruntung ada beberapa lembar koran bekas yang disunglap sebagai ’’pembungkus’’ tubuh yang juga tidak sepenuhnya menolong terbebas dari rasa dingin.