Opini Tribun Timur
Menjaga Napas Demokrasi
Kabar kurang menggembirakan datang dari Economist Intelligence Unit (EIU), Lembaga internasional yang fokus pada pengukuran index demokrasi
Berdasar rilis EIU, penurunan indeks demokrasi dunia terjadi secara global dibandingkan tahun lalu.
Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44.
Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU mulai merilis laporan tahunannya
pada 2006 yang lalu.
Fenomena penurunan kualitas demokrasi memang sudah pernah diramalkan oleh dua profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di tahun 2018 melalui bukunya yang berjudul “How Democracies Die”.
Secara gamblang kedua professor tersebut menjelaskan bagaimana kualitas demokrasi menjadi turun dan perlahan-lahan menemui kematiannya.
Bukan lagi melalui Kediktatoran yang mencolok dalam bentuk fasisme dan komunisme, atau melalui kekuasaan militer yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, tapi melalui hasil pemilu.
Walaupun sebagian besar negara mengadakan pemilu secara teratur akan tetapi kemunculan sejumlah
pemimpin yang terkesan 'diktator' justru muncul melalui hasil pemilu.
Kemunduran demokrasi hari ini dimulai di kotak suara".
Peryataan tersebut tentu tidak diambil begitu saja, keduanya mengajukan tes penting bagi demokrasi terkait pemimpin politik, apakah para pemimpin politik, terutama partai politik, bekerja untuk mencegah para "demagog" demokrasi meraih kekuasaan-dengan tak memberi mereka tempat penting di partai, dan menolak bersekutu dengan mereka pada saat sebelum dan setelah Pemilu?
Selanjutnya adalah pertanyaan, Apakah pemimpin hasil pemilu tersebut tidak membajak demokrasi dan kekuasaannya tetap berada dalam lingkup perimbangan kekuasaan dengan lembaga lain?
Apakah konstitusi tetap dibela oleh partai politik dan rakyat terorganisasi juga oleh norma-norma demokratik?
Apakah lembaga-lembaga tidak dijadikan senjata politik yang digunakan untuk melakukan kendali dan menghantam mereka yang bukan bagian dari barisan?
Apakah pengadilan dan badan netral lainnya tidak dijadikan senjata meneguhkan kuasa? Apakah media dan sektor
swasta tidak terbeli kekuasaan atau tidak digencet agar diam? dan Apakah regulasi tidak diutak-atik agar keseimbangan kekuatan berubah merugikan lawan politik?
Jawaban pertanyaan test tersebut ternyata mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa, "Paradoks tragis jalan menuju kerusakan melalui pemilu adalah bahwa para pembunuh demokrasi menggunakan lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri--pelan-pelan, secara halus, bahkan legal--untuk membunuhnya".
Konteks Indonesia