Komisi A DPRD: Maret 2022 Batas Akhir Apakah Andi Sudirman Laik Didampingi Wakil Gubernur atau Tidak
Selle merujuk proses hukum serupa yang menimpa Gubernur Kepulauan Riau, Dr H Nurdin Basirun, dan wakilnya Isdianto Juli 2019 lalu
Penulis: Abdul Azis Alimuddin | Editor: Thamzil Thahir
2. Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil yang Tersandung Korupsi
Ilustrasi surat suara - Jika Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel digelar pada November 2021 ini, maka ada 6.126.028 warga yang berhak memilih.
Gubernur Sulawesi Selatan Non-Aktif, Nurdin Abdullah terdakwa kasus suap dan gratifikasi sejumlah proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan sudah menerima putusan majelis hakim, akhir November 2021 lalu.
Hal itu dikarenakan, NA tidak mengajukan banding dan memilih menjalani hukuman pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp500 juta subsider empat bulan kurungan penjara.
Tidak hanya itu, dengan tidak adanya pengajuan banding menandakan bahwa terdakwa menerima semua putusan hakim. Termasuk pencabutan hak politik selama tiga tahun.
Penasihat Hukum Nurdin Abdullah, Irwan Irawan saat dikonfirmasi menyampaikan keputusan ini diambil berdasarkan hasil dari rembuk bersama keluarga NA.
Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya masih mempelajari seluruh pertimbangan majelis hakim dan menemukan ternyata analisa hukum tim Jaksa KPK dalam surat tuntutannya telah diambil alih oleh majelis hakim.
“Sehingga KPK memutuskan tidak mengajukan upaya hukum atas putusan terdakwa Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat,” sebut Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya.
Nurdin Abdullah bersama eks Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang (PUTR) Sulsel, Edy Rahmat disebut telah menerima putusan majelis hakim.
“Dengan demikian, perkara atas nama terdakwa Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat saat ini telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Fikri.
Selanjutnya, KPK akan melaksanakan putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Perkembangan pelaksanaan putusan akan diinformasikan lebih lanjut.
Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD jika didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD.[14] Pemberhentian ini dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Dasar hukum Ini dimuat di Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 dan Pasal 86 ayat (2) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah terakhir oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.
Rujukannya adalah Pasal 78 UU 23/2014:
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah;
d. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
e. melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j;
f. melakukan perbuatan tercela;
g. diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen; dan/atau
i. mendapatkan sanksi pemberhentian.
Pasal 76 ayat (1) UU 23/2014:
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a. Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun;
d. Menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan Daerah yang dipimpin;
e. Melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;
f. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e;
g. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
h. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri; dan
j. meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan tanpa izin Menteri untuk gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.
Jadi, jika kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan, maka keduanya diberhentikan dari jabatannya.
Namun, yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” dalam ketentuan ini adalah menderita sakit yang mengakibatkan fisik atau mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.[2]
Oleh karena itu, kami luruskan bahwa berhalangan tetap di sini bukanlah istilah tepat untuk menerangkan mengenai meninggalnya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau tersangkutnya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam kasus korupsi.
Berikut mekanisme pemberhentian dan penggantiannya:
Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang Meninggal Dunia atau Berhalangan Tetap
Mekanisme pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang meninggal dunia atau berhalangan tetap itu sama. Berikut rinciannya:
1. Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden melalui Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota untuk mendapatkan penetapan pemberhentian.
2. Dalam hal pimpinan DPRD tidak mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, Presiden memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas usul Menteri serta Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
3. Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak mengusulkan pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota, Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Mekanisme Penggantian Kepala Daerah yang Meninggal Dunia atau Berhalangan Tetap
Apabila kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota) berhenti karena meninggal dunia, diberhentikan karena berhalangan tetap, atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dilakukan pengisian jabatan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah.
Dalam hal pengisian jabatan gubernur belum dilakukan, wakil gubernur melaksanakan tugas sehari-hari gubernur sampai dilantiknya wakil gubernur sebagai gubernur.
Begitu pula dengan bupati dan wali kota. Dalam hal pengisian jabatan bupati/wali kota belum dilakukan, wakil bupati/wakil wali kota melaksanakan tugas sehari-hari bupati/wali kota sampai dengan dilantiknya wakil bupati/wakil wali kota sebagai bupati/wali kota.
Jika wakil kepala daerah yang berhenti, atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pengisian jabatan wakil kepala daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah.
Jika Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Korupsi
Pada dasarnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan.[10]
Menyorot istilah “tersandung korupsi” yang Anda sebutkan, dengan mengacu pada UU 23/2014, maka tersandung korupsi yang dimaksud di sini adalah kepala daerah dan/atau wakil kepala tersebut berstatus terdakwa.[11]
Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi
Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD jika didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.[
Jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD.
Pemberhentian ini dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Namun, apabila ternyata setelah melalui proses peradilan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara itu terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan, maka paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan pengadilan, Presiden mengaktifkan kembali gubernur dan/atau wakil gubernur yang bersangkutan, dan Menteri mengaktifkan kembali bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota yang bersangkutan.
Apabila setelah diaktifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah ternyata terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Presiden memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur dan Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Akan tetapi, jika setelah diaktifkan kembali ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Presiden merehabilitasi gubernur dan/atau wakil gubernur dan Menteri merehabilitasi bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Mekanisme Penggantian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang Tersandung Korupsi
Apabila kepala daerah diberhentikan sementara karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, maka wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Namun, apabila gubernur diberhentikan sementara dan tidak ada wakil gubernur, Presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri.
Sedangkan, apabila bupati/wali kota diberhentikan sementara dan tidak ada wakil bupati/wakil wali kota, Menteri menetapkan penjabat bupati/wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Bagaimana jika keduanya yang diberhentikan sementara?
Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara, Presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri dan Menteri menetapkan penjabat bupati/wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan jika diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka mekanisme penggantiannya sama dengan penggantian kepala daerah yang meninggal dunia atau berhalangan tetap yang telah dijelaskan di atas.
Bagaimana Jika Kepala Daerah dan Wakilnya Berhenti Menjabat?
Lalu bagaimana jika tidak ada wakil kepala daerah yang menggantikan tugas sehari-hari kepala daerah yang telah berhenti dari jabatannya tersebut?
Apabila wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, diberhentikan karena berhalangan tetap, atau diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pengisian jabatan wakil kepala daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah.