Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Makassar 414

Kota yang dulunya dibangun di tepi pantai ini pada periode raja Gowa ke-9 bergelar Tomaparisi Kallonna (1510-1546) berkembang dari waktu.

Editor: Sudirman

Keperluan sandang, pangan, hoby dan gaya hidup tumpah ruah dipajang sepanjang jalan-jalan itu.

Bahkan, sebuah sudut kota yang padat, tiba-tiba populer lantaran transaksi narkoba yang dirahasiakan namun umum diketahui publik. Dan inilah kota dengan segala hal yang diperjual-belikan di dalamnya.

Di kota ini, triliunan uang berputar lancar diiringi irama kekuasaan yang berputar pula.

Uang dan kekuasaan seolah kembar siam yang sulit dipisah dengan cara operasi medik modern secanggih apapun.

Karena itu, siapa yang menduduki kekuasaan, ia acap kali diselimuti uang. Lalu siapa yang menguasai uang, niscaya mampu mengubah wajah kekuasaan; dari wajah mengerikan menjadi wajah menyenangkan dirinya.

Dan di kota inilah, uang dan kekuasaan berjumpa, berhimpun, berteman, dan lantas bercinta. Barangkali kemegahan kota ini dibangun dari titik itu.

Tetapi kota yang dibangun dari kekuasaan uang dimana-mana memuntahkan masalah yang tak ternilai dengan materi.

Ditengah kemegahannya, Makassar memamerkan prestasinya yang sebenarnya bersimbolkan kunggulan manusia atas alam.

Makassar menimbun laut misalnya, menyedot pasir laut, memaku kota dengan tiang-tiang pancang yang kokoh.

Namun disaat yang sama, disetiap musim hujan beberapa ruang kota ini terendam banjir. Ini artinya kota ini rapuh ditengah kemegahannya.

Ada pula kerapuhan lain yang barangkali seringkali diabaikan. Kota ini disatu sisi terus-menerus dibangun dengan biaya jumbo.

Ia dibangun, dan itu berarti ia dibuat. Disinilah masalahnya sebab di aspek lain kota ini adalah hunian.

Kadangkala ada aspirasi yang tak ketemu antara Makassar sebagai "bangunan" dan Makassar sebagai "hunian". Sungguh sebuah kerapuhan yang tak semestinya ada.

Kerapuhan lain juga seringkali disimak saat konflik antar warga meledak setiap waktu.

Tiba-tiba ada warga yang tewas karena bentrok tawuran. Para pemangku otoritas kota seakan tak kuasa mengakhiri tawuran warga yang menyerupai sinema horor bersambung itu.

Kerapuhan ini sangat fatal, sebab kota ini menjadi tak beradab. Padahal, kemoderenan kota salah satunya ditandai oleh keadaban, bukan kebiadaban.

Tetapi harus diakui Kota ini dihuni jutaan kaum beriman. Namun sayangnya, kultur berkota kita seringkali menampilkan ciri yang seolah tak bertuhan.(*)

Tulisan ini juga diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Rabu (10/11/2021).

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved