opini Lutfie Natsir
Kajian Hukum Delik Tindak Pidana Pencucian Uang
pencucian uang atau money laudering adalah perbuatan melawan hukum ypihak yang tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan kepentingan pribadi
Oleh: Lutfie Natsir SH MH CLa
Pemerhati Hukum dan Antikorupsi
TRIBUN-TIMUR,COM, MAKASSAR - Pencucian uang atau money laundering adalah salah satu perbuatan yang di klasifikasi sebagai perbuatan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan pencucian uang atau money laundering dapat merugikan keuangan negara, perekonomian negara serta masyarakat.
Oleh karena itu perbuatan pencucian uang atau money laundering dapat dikenakan sanksi hukum yang cukup berat karena sesuai dengan apa yang diperbuatnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Pengertian pencucian uang secara umum adalah pencucian uang atau money laudering merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.
Perbuatan pencucian uang atau money laundering dapat berupa tindakan atau perbuatan menempatkan, membayarkan, mentransfer, menghibahkan, membelanjakan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui berasal dari sebuah tindak pidana.
Perbuatan tersebut dimaksudkan untuk menyembunyikan sumber harta kekayaan seolah menjadi harta kekayaan yang sah dan sesuai dengan hukum.
Perbuatan pencucian uang atau money laudering dalam kegiatan prosesnya, umumnya dilakukan untuk menguntungkan diri pribadi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana, dibuat seolah sebagai harta kekayaan yang bersifat halal dan sah, prosesnya dapat dikelompokkan menjadi tiga hal sebagai berikut:
a. Transfer adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan mentransfer harta kekayaan yang bersumber dari tindak pidana yang sudah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan satu ke penyedia jasa keuangan lainnya.
b. Penempatan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam menempatkan sejumlah uang tunai yang juga bersumber dari sebuah tindak pidana ke dalam sistem keuangan Bank / Lembaga Keuangan lainnya.
c. Pengguna Harta Kekayaan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam menggunakan harta kekayaan bersumber dari sebuah tindak pidana yang telah ditempatkan di sistem keuangan dan ditransfer seolah menjadi harta kekayaan pribadi dan halal.
Tahapan dalam pencucian uang :
a. Plecement atau Tahap Penyimpanan, fase ini memindahkan dari sumber dana uang haram dari sumber dimana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya.
Atau secara lebih sederhana agar sumber uang haram tidak diketahui oleh pihak penegak hukum.
Metode yang paling umum dilakukan dari placement ini adalah apa yang disebut smurfing, melalui smurfing ini maka keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikelabui atau dihindari.
b. Layering atau Pelapisan Selalu terdapat hubungan antara Placement dengan Layering yaitu bahwa setiap prosedur Placement yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah salah satu bentuk Layering.
Strategi Layering pada umumnya meliputi, mengubah uang tunai menjadi asset fisik, seperti membeli kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas, atau batu-batu permata yang mahal atau real estate dan lain lain.
c. Integration atau Penggabungan Mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal.
Hal ini dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang menyangkut pinjaman uang.
Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini atau money laundering memungkinkan pelaku menggunakan dana yang begitu besar, dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka, atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama para pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pasal sebagai berikut :
Pasal 3: Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (sesuai pasal 2 ayat (1) UU ini) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena Tindak Pidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4: Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (sesuai pasal 2 ayat (1) UU ini) dipidana karena Tindak Pidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 5 ayat (1): Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 5 ayat (2): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang Undang ini.
Dalam konteks pembuktian tindak pidana pencucian uang atau money laundering yang tidak wajib membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya selain didasari oleh filosofi perubahan Undang-Undang TPPU ( terakhir UU No. 8 Tahun 2010 ).
Ringkasnya Undang-Undang UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU telah mengunci dengan jelas tentang hal itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu pembuktian atas tindak pidana asalnya, berdasarkan uraian di atas baik secara yuridis maupun secara teoritis dan dapat menjadi penekanan dalam praktik penegakan hukum TPPU sehingga tidak lagi terjadi perbedaan kesepahaman.
Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 merupakan jawaban yang final mengenai keberadaan Pasal 69 UU TPPU atas kesimpangsiuran yang masih terjadi hingga saat ini, perlu atau tidaknya penegakan hukum TPPU menunggu terbuktinya tindak pidana asal melalui putusan pengadilan ingkrah.
Demi efektivitas penegakan hukum TPPU dan demi menghindari terjadinya perbedaan putusan pengadilan, sebaiknya dalam penanganan TPPU digabung dengan tindak pidana asalnya.
Selain yang demikian menjamin prinsip speed administration, juga lebih memberi kepastian hukum.
Apapun alasannya, pencucian uang atau money laudering adalah salah satu perbuatan melawan hukum yang sering terjadi.
Dengan hal ini kita dapat simpulkan bahwa, suatu kegiatan yang berlawan dengan hukum atau tindak pidana akan dikenakan sanksi yang berat sebagai efek jera sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.
Dan sebaiknya kita menghindari dan tidak melakukan kegiatan atau suatu perbuatan yang tercela maupun melawan hukum demi untuk meraih rasa keadilan, kesejahteraan masyarakat dan keselarasan bersama.
Demikian sekadar kami sampaikan semoga bermanfaat dan menjadi ladang amal ibadah, Wallahu A,lam Bishawab. Jazakkalahu Khairan.(*)