Tribun Makassar
Bahar, Pria Tua Sebatangkara Mengenang Kajang dari TMP Panaikang
18 tahun berjualan sapu lidi di depan TMP Panaikang, ada satu hal paling menyedihkan yang dirasakan Bahar.

“Pernah’ji saya pulang karena ada orang dari kampung yang jemput’ka. Tapi kalau saya mau pulang sendiri, sulit, karena persoalan biaya,” ujarnya.
Untuk beli sendal pun, pria yang mengaku dari Suku Kajang Dalam ini tak mampu.
Terlihat dari sendal berbeda yang dipakainya. Satu warna biru yang lainnya hitam.
“Ini sendal saya pungut di tempat sampah,” katanya.
Kini, dengan segala keterbatasan, Bahar terus berjuang melanjutkan hidupnya.
“Kalau ada rezki, alhamdullillah. Kalau tidak ada, begini-begini’mi saja,” katanya.
Masa muda Bahar seorang perantau.
Lama di Kalimantan dan Malaysia.
Dia juga pernah menjadi tukang sapu jalan dan pengangkut sampah Dinas Kebersihan Kota Makassar.
Hingga akhirnya, di ujung usianya dia memilih berjualan sapu lidi.
Malam makin larut, Bahar tetap semangat.
Menceritakan masa lalunya. Yang bahagia, pedih, hingga tentang masa penjajahan.
Dia dibawa ayahnya ke Makassar pada masa penjajahan Jepang.
Ingatannya masih kuat tentang peperangan, orang-orang terbunuh, dan pesawat tempur yang berputar-putar di langit.
Bahar mengaku terlibat dalam pemberontakan Kahar Muzakkar.
Dia bahkan pernah diberi senjata oleh gerombolan Kahar dan diminta untuk menyembunyikannya di kebun.
“Selain senjata ada juga parang dan cangkul, yang akan kami gunakan melawan tentara 070. Waktu itu saya mendukung Kahar,” kata Bahar.