Ruang Publik LSKP
Ruang Publik LSKP #5, Agar Legislator Perempuan Tidak Lagi Sekadar Kumpulan Politisi di Parlemen
Kesadaran kritik sesama perempuan untuk memandang permasalahan perempuan dinilai masih sangat kurang.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Keterlibatan perempuan dalam politik masih jauh dari harapan. Bahkan masih jauh dari kuota.
Padahal, menjadi politisi, menjadi anggota parlemen, adalah pilihan otonom perempuan yang harus dibiayai oleh negara dan harus dipertanggungjawabkan.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PAN Dr Ir Andi Yuliani Paris MSc, Dosen Ilmu politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani, serta Direktur Eksekutif Daya Riset Advokasi untuk Perempuan dan Anak di Indonesia Ni Loh Gusti Madewanti SSos membahas hal itu dalam
Ruang Publik Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) edisi #5, Jumat (13/8/2021). Ruang Publik LSKP didukung Women’s Democracy Network dan International Republican Institute dan kerja sama dengan Kaukus Perempuan Sulawesi Selatan serta Kaukus Perempuan Politik Sulawesi Selatan.
Baca juga: Ruang Publik LSKP Bahas Anggaran Publik Responsif Gender,Andi Suhada Sappaile: Bukan Hanya Perempuan
Baca juga: Diskusi LSKP, Luna Vidya: Jadilah Seperti yang Kamu Mau,Jangan Berkutan Gender Terjerat Diskriminasi
Baca juga: Sebanyak 47 Juta Perempuan Kehilangan Akses Kontransepsi di Tengah Pandemi,7 Juta Diantaranya Hamil
Mengangkat tema “Perempuan dan Literasi Politik”, Ruang Publik LSKP Edisi #5 tetap dilaksanakan melalui zoom meeting. Dialog dipandu Luna Vidya.
Pada awal sesi pertama, Luna Vidya mempersilakan narasumber untuk menyampaikan relevansi dari tema yang diangkat.
Sebagai argumentasi pembuka Sri Budi Eko Wardani menggambarkan situasi yang didapatkan dari hasil riset terkait tema yang diangkat.
“Saya melakukan riset tentang keterwakilan perempuan di tingkatan kabupaten/kota. Trend keterpilihan perempuan, harus dicatat bahwa sebagian besar dari sekitar 530-an kabupaten/kota, hanya 26 kabupaten/kota yang berada di atas kuota 30%. Hanya di Minahasa dan Kalimantan Tengah yang di atas kisaran 40%,” jelas Sri Budi Eko Wardani.
Hal itu, menurut Sri Budi Eko Wardani, menggambarkan bahwa affirmative action memiliki dua sisi yakni dukungan bagi perempuan dan politik elektoral.
Menurut Sri Budi Eko Wardani, harusnya politik dipandang sebagai sesuatu yang transformational yang lebih perspektif gender.
“Jumlah perempuan yang banyak di tataran anggota dewan hanya berupa kumpulan, belum menjadi kekuatan. Banyak gerakan perempuan pendukung calon legislatif yang dilatarbelakangi oleh keputuhan praktis,” kata Sri Budi Eko Wardani.'
Selanjutnya, Ni Loh Gusti Madewanti yang juga Founder Droupadi memberikan tanggapan terkait potret fenomena terkait dengan tema yang diangkat.
“Droupadi adalah salah satu lembaga yang bergerak di Jawa Barat yang mengangkat isu Demokratisasi dan Pemberdayaan Perempuan. Berdasarkan refleksi Droupadi banyak sekali gender issue, baik yang terjadi pada skala rumah tangga, lingkungan dan tempat kerja,” jelas Ni Loh Gusti Madewanti.
Penelusuran Droupadi, partai politik melamar perempuan untuk menjadi calon legilatif melalui jalur belakang, yakni melalui suaminya.
Hal itu dinilai merefleksikan bahwa perempuan belum mempunyai daya tarik karena kapasitasnya dan masih termarginalkan.