Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Sawedi Muhammad

OPINI SAWEDI MUHAMMAD: Urgensi ‘Urban Resilience’ di Masa Pandemi

Dari 53 negara yang disurvey, Indonesia menduduki peringkat terbawah dengan skor 40,2. Indonesia bahkan dianggap sebagai episentrum Covid dunia

Editor: AS Kambie
Tim Appi-Rahman
Dr Sawedi Muhammad, Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) 

Urgensi ‘Urban Resilience’ di Masa Pandemi
Oleh Sawedi Muhammad
Sosiolog Universitas Hasanuddin


TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Konsep “urban resilience” (ketangguhan kota) telah lama digunakan dan diperdebatkan secara lintas disipliner, mulai dari kajian ekologi, sosiologi, psikologi dan perencanaan kota.

Resilience berasal dari bahasa Latin resilio, resilire atau reseller yang artinya bangkit kembali (bounce-back) atau melompat ke depan (bounce- forward), Manyena dkk, 2011.

Secara umum resilience dimaknai sebagai respon dari individu atau sistem ketika diperhadapkan pada gangguan tertentu secara tiba-tiba.

Dalam bidang ekologi, resilience menekankan kemampuan sebuah sistem bertransformasi secara fundamental menjadi sesuatu yang baru setelah mengalami disrupsi. 

Mengapa membincang ketangguhan kota? Apa urgensinya? Dan bagaimana mengukurnya?

Di samping sebagai etalase segala bentuk kemajuan, kota adalah urat nadi kehidupan yang terus-menerus berkembang menjadi pusat peradaban.

Kota adalah tempat dimana pendidikan, teknologi, komunikasi, transportasi, jasa, ekonomi dan perdagangan terus bertransformasi dalam menopang kesejahteraan dan kualitas hidup penghuninya.

Dengan berbagai capaian yang mencengangkan, kota juga memperlihatkan wajah yang tidak selalu ramah.

Di banyak kawasan, kota menjelma menjadi pusat kriminal, prostitusi, perdagangan narkoba dan konflik sosial.

Kota bahkan menjadi sumber kemacetan dan polusi udara, kantong pengangguran dan kemiskinan.

Kota pada umumnya menghadapi persoalan klasik yang sama; pemukiman kumuh, tata kelola sampah, air bersih, drainase dan dampak perubahan iklim. 

Di masa pandemi Covid-19, hampir seluruh kota besar dunia memperlihatkan kerentanan yang seragam; infrastruktur kesehatan kolaps, ekonomi limbung, sistem sosial keropos dan koordinasi kelembagaan yang sangat rapuh.

Akan tetapi dalam menangani Covid-19 pada level negara, rilis Bloomberg mengenai rangking ketahanan terhadap Covid-19 menarik untuk disimak.

Dari 53 negara yang disurvey, Indonesia menduduki peringkat terbawah dengan skor 40,2. Indonesia bahkan menurut beberapa media asing dianggap sebagai episentrum Covid dunia (CNBC, 19 Juli, 2021).

Turut memperburuk skor Indonesia adalah tingginya angka kematian yaitu 1.300 orang setiap hari, rendahnya vaksinasi yang baru sampai pada kisaran 7,2% dari populasi dan ketatnya tindakan penguncian (CNBC, 30 Juli, 2021).

Indeks Kota Tangguh

Berbagai upaya telah dilakukan dalam skala global untuk menciptakan kota-kota yang tangguh dalam menghadapi berbagai krisis.

Isu ketangguhan kota secara eksplisit diakui dan dipertegas di beberapa agenda PBB. Salah satunya adalah agenda Sustainable Development Goals 2030 (SDGs).

Target 1.5 SDGs 2030 ditujukan untuk membangun ketahanan masyarakat miskin dan mereka yang berada dalam kondisi rentan dan mengurangi kerentanan mereka terhadap kejadian ekstrim terkait iklim dan guncangan ekonomi, sosial, lingkungan dan bencana.

Sementara itu untuk target 11 SDGs ditujukan untuk membuat iklim dan pemukiman perkotaan yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan.

Indikator lain yang relatif baru adalah City Resilience Index atau Indeks Kota Tangguh. City Resilience Index (CRI) pertama kalinya dikembangkan melalui penelitian yang ekstensif oleh lembaga yang berbasis di Amerika yaitu ARUP melalui sponsor dari Yayasan the Rockefeller.

Tujuan City Resilience Index adalah membantu kota-kota dunia memahami dan mengukur kemampuannya dalam menghadapi dan menyesuaikan serta bertransformasi di saat mengalami krisis baik karena ulah manusia atau karena bencana alam.

Menurut Joe Anderson, Walikota Liverpool, City Resilience Index adalah alat yang sangat bagus untuk mengenali apa yang harus diperbaiki, mengidentifikasi kelemahan dan memusatkan pikiran menemukan berbagai inovasi dalam menghadapi berbagai risiko.

Fleksibilitas dari indeksnya memungkinkan pemahaman yang lebih luas melampaui pendekatan yang selama ini digunakan secara lokal dan nasional.

City Resilience Index adalah perangkat paling komprehensif pertama yang membantu kota-kota memahami dan mengetahui ketangguhannya secara sistematik dan dapat diaplikasikan secara global.

City Resilience Index akan membantu pemangku kepentingan di kota untuk fokus ke masa depan, mengetahui kejelasan yang diperlukan dalam mengambil tindakan relevan dan memprioritaskan investasi untuk menjadikan kotanya semakin tangguh.

Terdapat empat dimensi utama yang akan diukur di City Resilience Index.

 Pertama, kesehatan dan kesejahteraan (health and wellbeing). Dimensi ini meliputi tingkat minimum kerentanan penduduk, aneka ragam mata pencaharian dan pekerjaan, serta pengawasan yang efektif terhadap kehidupan dan kesehatan penduduk.

 Kedua, ekonomi dan masyarakat (economy and society). Komponen utama yang akan diukur adalah ekonomi berkelanjutan, identitas kolektif dan dukungan bersama, keamanan komprehensif serta perangkat aturan/perundang-undangan.

Ketiga, Infrastruktur dan ekosistem (infrastructure and ecosystem). Dimensi yang akan diukur adalah pengurangan derajat kerentanan, mobilitas dan komunikasi yang tangguh, serta pengadaan barang yang efektif untuk  pelayanan kritikal.

Keempat, Kepemimpinan dan strategi (leadership and strategy). Dimensi yang akan diukur adalah kepemimpinan dan manajemen yang efektif, pemberdayaan pemangku kepentingan, serta perencanaan pembangunan terintegrasi.

Keempat dimensi City Resilience Index tersebut kemudian diturunkan kedalam 12 tujuan dan 52 indikator.

CRI untuk Kota Makassar

Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia Timur dengan berbagai kompleksitas yang sedang dan akan dihadapi, sudah saatnya Makassar menyusun matriks kota tangguh.

Matriks ini tidak hanya menghimpun informasi mengenai kondisi objektif kota - potensi guncangan dan tekanan yang akan dihadapi -- tetapi juga menjadi panduan dalam merumuskan berbagai program yang berkelas dunia dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup warganya.

Matriks ini akan membantu pemerintah dalam menyusun pendekatan yang terintegrasi dan solusi inovatif yang dibutuhkan agar kota memahami dan merencanakan program-program yang mendukung ketangguhannya di masa krisis.

Melalui ARUP dan kerjasama dengan Yayasan the Rockefeller, terdapat 100 kota di seluruh dunia yang telah menyusun indeks kota tangguh.

Setiap kota menetapkan City Resilience Officer (CRO) yang akan memfasilitasi serangkaian lokakarya, diskusi publik, perencanaan, teknik dan strategi menyusun rencana tindak yang efisien serta menajemen proyek melalui setiap tahapan penyusunan strategi.

Kota pertama di Indonesia yang berhasil menyusun City Resilience Index adalah Semarang. Semua permasalahan yang dihadapi kota Semarang seperti banjir, ketersediaan air bersih, energi terbarukan, sumberdaya manusia, kemacetan, pengelolaan sampah dan masalah sosial lainnya terpetakan dengan baik.

Berbagai strategi kota tangguh juga dirumuskan dan dilengkapi dengan berbagai inisiatif yang disusun menjadi solusi yang terintegrasi.

Kota Makassar dapat mencontoh inisiatif yang dilakukan kota Semarang dengan melakukan penyempurnaan dan penyesuaian berdasarkan keunikan wilayah.

Dokumen City Resilience Index Kota Makassar dapat menjadikan pandemi sebagai salah satu potensi krisis di masa mendatang, isu yang sama sekali tidak disebutkan di dokumen City Resilience Index Kota Semarang.

 Apabila kota Makassar berhasil menyusun City Resilience Index plus skenario dan inisiatif saat terjadi pandemi, bisa jadi Makassar adalah kota pertama di dunia yang menyusun City Resilience Index yang paling tangguh dan futuristik.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved