Tribun Makassar
Irman Yasin Limpo: Korupsi Bagai Corona, Divaksin KPK Lalu Muncul Lagi
Irman Yasin Limpo: Korupsi Bagai Corona, Divaksin KPK Lalu Muncul Lagi
Penulis: Ari Maryadi | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Irman Yasin Limpo mengatakan fenomena kasus korupsi selalu saja terulang setiap tahun membuat energi masyarakat habis.
None berkelakar, korupsi bagaikan seperti virus Corona. Meski telah divaksin selalu saja muncul kembali.
Hal itu disampaikan None dalam dialog publik bertema "Korupsi Dana Bansos Covid-19, bagaimana sikap kita" yang digelar HMI Komisariat UMI di Hotel Four Points By Sheraton Jl Andi Djemma Kota Makassar, Senin (7/5/2021).
"Kenapa selalu bermasalah, setiap tahun kita disuguhi kasus energi habis. Sangat disayang kalau tiap tahun muncul," katanya.
"Tapi kalau tiap tahun terjadi, ini seperti Corona. Divaksin KPK, enam bulan kemudian muncul lagi. Ini tidak sehat. Harusnya jadi pengingat pemerintahan," sambungnya.
None tampil sebagai pembicara dari latar belakang pensiunan birokrat Pemprov Sulsel.
Ia menyayangkan adanya fenomena korupsi bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya tindakan seperti itu sangat keterlaluan. Sebab banyak masyarakat meninggal dunia karena Covid-19, namun di sisi lain rupanya ada pula orang yang menikmati hidup nyaman karena Covid-19.
"Saya sayangkan, ini pandemi, kalau aparatur melakukan tindakan tidak terpuji, ini keterlaluan. Banyak orang mati karena Covid-19, ini ada orang hidup nyaman karena Covid-19. Saya saja 20 hari diisolasi karena Covid-19, terus ternyata ada yang memotong bantuan," tuturnya.
Ia menilai ada tumpang tindih kewenangan dalam pendataan bantuan sosial, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten.
Sebaiknya, kata dia, pendataan masyarakat penerima bantuan sosial di serahkan kepada Pemerintah Kabupaten
"Kalau bantuan sosial sebaiknya di kabupaten saja jangan provinsi. Provinsi tidak punya rakyat.
Pemerintah kabupatenbupaten hampir semula layanan," katanya.
Bahkan, None menilai sebaiknya pemerintah sebaiknya rutin melakukan rapat mutakhir rutin 6 bulan. "Itu Jauh lebih murah dibanding acara seremonial," katanya.
None juga menilai, adanya tugas-tugas pemerintahan dan eksekutif yang tidak teratur.
Ia menilai, legislatif ikut operasional memalukan bagi aparat pemerintahan. Ia menekankan, struktur teknis ada di eksekutif, dan pengawasan di legislatif.
"Akan tertawa anak kita kalau kita berkelahi data," katanya.
Sementara itu, Koordinator FoKal NGO Sulsel, Djusman AR menaruh perhatian atas munculnya mantan Pelaksana Tugas Kepala Inspektorat Sulsel, Sri Wahyuni dalam sidang terdakwa Agung Sucipto di Pengadilan Tipikor Makassar beberapa waktu lalu.
Agung Sucipto adalah terdakwa pemberi suap terhadap Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah.
Nama auditor muda itu disebut oleh Salman, mantan ajudan Nurdin Abdullah, yang saat itu dihadirkan sebagai saksi kasus tersebut.
Djusman AR mengatakan, apapun yang terungkap di persidangan sebagai fakta persidangan, merupakan alat bukti yang kuat. Sebagai saksi, Salman menyatakan kesaksiannya dibawah sumpah, dan dilindungi undang-undang.
"Jika namanya disebut dalam persidangan, maka itu sudah menjadi fakta persidangan. Pelaksana Tugas Gubernur Sulsel, tentu tidak boleh melepas begitu saja dan harus ada tindak lanjut. Harus ditelusuri sejauh mana perannya," katanya.
Jika terbukti bersalah menerima aliran dana bansos Covid-19, Sri Wahyuni bisa mendapatkan sanksi, hingga pemecatan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Pelaksana Tugas Gubernur harus menindaklanjuti kesaksian Salman, tentunya tanpa mengabaikan asas praduga tak bersalah.
"Saya selalu yakin, mereka yang memberikan kesaksiannya di pengadilan sangat kecil kemungkinan berbohong. Karena mereka kan disumpah terlebih dahulu. Kalau memberikan kesaksian palsu, itu bisa dipidana," terangnya.
Sementara, Penyidik KPK, Andre D Nainggolan, yang turut hadir dalam diskusi secara virtual dalam diskusi itu, memberikan pendapatnya terkait munculnya fakta baru di persidangan Agung Sucipto. Meskipun, ia bukanlah penyidik kasus tersebut.
"Apabila ada fakta baru yang muncul di persidangan, bisa dilakukan pengembangan penyidikan yang mengarah pada pihak baru. Tentu dilihat dulu seberapa besar alat-alat bukti yang diperoleh," ujarnya.
Sebelumnya, dalam sidang yang digelar 3 Juni 2021 lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Asri Irwan, mengungkap fakta lain di persidangan dengan terdakwa Agung Sucipto.
Asri mengungkap ada dana penanganan Covid-19 yang mengalir ke kerabat hingga staf khusus Nurdin Abdullah.
"Untuk dana bantuan Covid-19 dari Provinsi, mohon izin Yang Mulia (hakim), kami tanya karena berhubungan dengan barang bukti, Ikbal Fachruddin, ini kah yang dibagi bantuan-bantuan, Carolita Anggara, Nurhidayah, Sri Wahyuni Nurdin, Ibu Metty Anggota DPRD, Pak Salman, Veronica, Nikita, Bapak Rudi, Vian, ini bukan keluarga-keluarga Pak Nurdin Abdullah?" tanya Jaksa Asri kepada saksi Salman.
Dalam sidang terdakwa penyuap Nurdin, Agung Sucipto itu, Jaksa Asri awalnya menanyakan sejumlah hal terkait aliran suap kepada Salman. Salman ialah ajudan Nurdin Abdullah yang kerap diperintahkan mengambil uang dari sejumlah kontraktor.
Terkait nama-nama penerima aliran dana Covid-19 yang ditanyakan Jaksa KPK kepadanya, Salman membenarkan nama-nama tersebut. Dia mengungkap nama-nama itu ada dalam sebuah catatan miliknya, yakni berupa dalam bentuk bukti tanda terima yang sengaja dibuat.
"Mohon izin Pak, jadi bukti tanda terima itu hanya saya buat untuk dokumen pribadi saya sebagai bahan laporan kalau ditanya," kata Salman, menjawab pertanyaan Jaksa KPK.(*)
Laporan Kontributor TribunMakassar.com @bungari95