Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini AM Sallatu

Rekalibrasi Paham Pembangunan di Sulsel, Perlu Cuci Otak Paham Pembangunan di Masa Pandemi

Rekalibrasi Paham Pembangunan di Sulsel, sementara pembangunan infrasturktur telah merajai paham pembangunan dalam dua tahun terakhir. Perlu cuci otak

Editor: AS Kambie
dok.tribun
AM Sallatu 

Rekalibrasi Paham Pembangunan di Sulsel
Oleh: AM Sallatu
Koordinator Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia  Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia, JiKTI BaKTI

TRIBUN-TINUR.COM, MAKASSAR  - Bambang Susantono (BS), Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia, mengenalkan istilah rekalibrasi pembangunan infrastruktur (Kompas, Selasa, 18/05/21) yang demikian menonjol dalam kebijakan pembangunan di Asia Pasifik.

Masa pandemi covid19 yang masih dapat berkepanjangan dikatakan sepatutnya dapat mendorong pemikiran ulang pembangunan infrastruktur, atau rekalibrasi pembangunan infrastruktur, karena menurunnya penerimaan negara dan keterbatasan sumber-sumber pembiayaan.

Hal itu tentu tanpa kecuali juga berlaku bagi Indonesia, dan terutama wilayah dan daerah yang masih sangat tinggi tingkat ketergantungannya pada anggaran pemerintah.

Dua tahun terakhir, pembangunan infrastruktur telah merajai paham pembangunan (developmentalism), bahkan sampai ke tingkat kabupaten dan kota di tanah air.

Padahal selain persoalan pembiayaan untuk pembangunannya, selama ini persoalan biaya pemeliharaan menjadi kendala besar bagi anggaran pemerintah.

Para perencana dan penentu kebijakan pembangunan di tingkat wilayah dan daerah patut melakukan penyetelan ulang secara besar-besaran (great reset), dalam istilah BS, berkenaan dengan paham pembangunan yang diagungkan selama ini.

Alokasi anggaran pemerintah akan semakin terbatas, penerimaan negara dan terutama PAD masih sangat sulit untuk mencapai kinerjanya sebagaimana sebelum pandemi covid19.

Melakukan pinjaman untuk pembiayaan pembangunan, bukan hanya sulit menemukan sumber, tetapi juga menghadapi persyaratan yang ketat dari pemilik dana ataupun institusi keuangan.

Hal ini, dalam ungkapan BS, terkait erat dengan hukum kelayakan proyek.

Karena itu, suka atau tidak suka, akan menuntut reorientasi pemikiran penentu kebijakan pembangunan.

Apalagi masalah kesehatan masyarakat luas saat ini menuntut anggaran yang tidak kecil.

Refocusing anggaran nampaknya masih perlu dicermati lebih jauh lagi.

Para penentu kebijakan pembangunan patut membuka hati dan pikirannya untuk memahami realitas yang ada dewasa ini.

Cara pandang dan wawasan kebijakan pembangunan butuh untuk direkalibrasi.

Memerlukan pemahaman dan penguasaan yang jujur mencermati sektor kehidupan masyarakat produktif apa saja yang telah dan mampu tetap bergerak selama pandemi saat ini.

Sejujurnya, pergerakan kehidupan ekonomi terletak pada sektor rumah tangga produktif, yang betapapun kecil skalanya, namun akan signifikan secara kumulatif dan melibatkan banyak rumah tangga.

Pertanyaannya, apa yang telah dipikirkan dan dilakukan untuk kepentingan sektor rumah tangga produktif ini?

Mereka ini sangat jauh tersisih dalam kaitan pembangunan infrastruktur maupun paham pembangunan yang dianut sejauh ini.

Tentu tanpa menafikan prospek pelaku pembangunan kelas menengah dan besar yang sudah selama ini selalu mendapatkan pemihakan kebijakan, dan masih meneriakkan pemihakan seperti itu.

Kegiatan sektor rumah tangga produktif juga sudah membutuhkan sentuhan dan pemihakan nyata.

Beberapa tahun lalu, dengan berbasis evidence dan data yang tersedia, sudah pernah ditunjukkan betapa tidak inklusifnya pembangunan di Sulsel.

Betapa kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat tetap saja menganga.

Sudah sejak lama di Sulsel membentuk pola huruf K dalam ilustrasi BS, yaitu yang berpendapatan tinggi tetap saja meningkat dan yang berpendapatan rendah tetap saja terpuruk.

Di antara mereka yang berpendapatan rendah ini memang ada yang terkait dengan UMKM, tetapi yang jauh lebih besar jumlahnya adalah petani marjinal yang berlahan sempit dan buruh tani.

Ironinya, karena Sulsel adalah wilayah yang berbasis sektor pertanian.

Tetapi 40 persen rumah tangga petani yang berada pada lapisan terbawah, nyaris tidak tersentuh oleh kebijakan pembangunan.

Hanya sedikit dari mereka yang terkait dengan komoditas unggulan sektor pertanian di wilayah ini.

Mereka ini, yang selama pandemi, harus bekerja keras dan produktif termasuk secara off-farm, demi untuk mengepulkan asap dapur mereka.

Para penentu kebijakan perlu datang mencermati kehidupan ekonomi senyatanya yang ada di pelosok daerah.

Kegiatan rumah tangga produktif saat ini membutuhkan tindakan nyata untuk mendorong permintaan efektif (effective demand), yang menjadi bahasan teori ekonomi tersebut.

Tampak mengharukan bahwa mereka sudah tidak membisniskan kegiatan produktif mereka secara tradisional.

Senyatanya mereka telah memanfaatkan bisnis online dan membentuk group jual beli melalui media FB.

Hebatnya lagi, mereka bahkan sudah mampu mentransaksikan hasil kegiatan produktif mereka secara antar daerah maupun antar pulau.

Sejatinya marjin ekonomi mereka tercipta setiap hari meskipun nilainya masih sangat kecil.

Tetapi belum ada pemihakan kebijakan ekonomi di daerah yang menyentuh mereka.

Realitas kegiatan rumah tangga produktif diatas patut segera mendapatkan sentuhan dan pemihakan.

Oleh karena saat ini sudah mulai terlihat telah berkembang semacam predator dalam jaringan distribusi dan pemasaran mereka.

Hal ini amat perlu sedini mungkin dicegah perkembangan kehadiran predator tersebut.

Selain menghambat kegiatan ekonomi produktif tersebut, juga bisa mengganggu penciptaan marjin usaha mereka dalam jangka panjang.

Sangat disayangkan bila para penentu kebijakan di daerah belum mampu memahami dan memberikan pemihakannya.

Harus disadari bahwa pembangunan yang berskala memang penting dan akan besar kontribusinya bagi wilayah dan daerah.

Namun untuk konteks sekarang ini, selama pandemi yang dampaknya masih akan berbilang tahun ke depan, menata dan memberi pemihakan pada kegiatan produktif berskala kecil dan terbatas adalah pilihan yang amat rasional dan realistik.

Pandemi yang mendera saat ini, sepatutnya dapat mencuci otak (baca: cara pandang dan wawasan) pembangunan yang ada di benak para penentu kebijakan pembangunan di wilayah ini.

Paham pembangunan yang sangat bias pada pertumbuhan, saat ini sudah semakin sulit pijakan empiriknya.

Apalagi arus besar investasi yang diimpikan deras mengalir sudah lebih cenderung menjadi mimpi di siang bolong belaka.

Membasiskan upaya pembangunan pada kekuatan masyarakat lokal,  justru harus mampu diaugmented matrix pengembangannya.

Memang sulit dan kompleks penanganannya, apalagi selama ini tidak pernah dibangun secara sistematik sistem pendataannya.

Namun itu menjadi pilihan kebijakan yang tersedia untuk kepentingan masyarakat luas.

Dan yang lebih penting lagi, bisa diharapkan untuk mengurangi kesenjangan, bila strukturnya mampu diperkuat.

Begitulah pesan rekalibrasi paham pembangunan saat ini. Semoga saja bisa menggugah!(*)

Parepare, 20 Mei 2021.-

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved