Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Sentimen Agama Calon Kapolri, Setelah Jenderal Widodo Budidarmo dan Jenderal Soetjipto Danoekoesoemo

Di sini pentingnya RUU Lembaga Kepresidenan untuk mengurai secara tegas Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Editor: AS Kambie
dok_facebook/tribun-timur
Dosen Hukum UIN Alauddin Makassar Dr Syamsuddin Radjab 

Demikian pula dalam ajaran Hindu dikenal catur upaya sandhi dan asta brata dan dalam ajaran Budha dengan dasa raja dharma. Kesemuanya merupakan panduan moral dalam agama-agama bagaimana menjadi pemimpin yang baik.

Dalam pemaparan visi misi hari ini, terang disampaikan akan membangun sinergi dengan tokoh-tokoh agama antara ulama dan umara, moderasi agama dalam menangkal paham intoleransi dan ekstrimisme dalam semua agama.

Frasa “jihad” misalnya dalam Islam tidak selalu bermakna perang dan bunuh-bunuhan tapi lebih banyak dimaknai sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh. Belajar dengan giat bagi mahasiswa juga jihad, menjadi kapolri dengan mewujudkan polisi presisi juga jihad dan Komjen Sigit akan berjihad mewujudkan cita tersebut.

Tantangan di Depan mata

Sebagai kapolri dengan masa jabatan yang cukup lama barangkali sampai akhir masa jabatan Presiden Jokowi bahkan sesudahnya memiliki waktu panjang mewujudkan visi misi transformasi menuju polisi yang presisi (prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan) sebagai konsep yang ingin diwujudkan.

Didepan mata membentang tantangan yang segera dapat diselesaikan secara presisi diantaranya: Pertama, Tindak lanjut hasil investigasi Komnas HAM dalam penyelidikannya menyimpulkan bahwa terjadi pelanggaran HAM berupa unlawfull killing terhadap 4 orang anggota FPI dalam kasus tragedi KM 50 di ruas tol Jakarta-Cikampek.

Kedua, dalam UU kepolisian dimandatkan untuk menindaklanjuti beberapa ketentuan perundang-undangan berupa keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah yakni Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian kapolri dan pembantuan TNI dalam tugas keamanan Polri serta pembantuan Polri dalam darurat militer dan keadaan perang.

Selama ini soal pembantuan masih dalam bentuk MoU sehingga kedudukan hukumnya tidak kuat dan temporal, dibutuhkan perangkat hierarkhi perundang-undagan yang didorong oleh kepolisian sendiri agar menjadi Perpres, kepres atau PP; dan 

Ketiga, menangkal paham intoleransi, ekstrimisme dan terorisme yang belakangan kian menguat di Indonesia dengan basis pendekatan HAM dan penegakan hukum berkeadilan.

Beberapa yang diduga teroris langsung ditembak mati walau tanpa perlawanan dan bahkan ada yang dituduh teroris seperti kasus Siyono pada 2016 di Klaten yang membuat PP Muhammadiyah marah besar dan keberatan termasuk tudingan terhadap MRS dan 6 orang anggotanya sebagaimana hasil investigasi Komnas HAM dalam laporannya.

Seolah ganti rugi oleh kepolisian atas kehilangan nyawa seseorang sudah dianggap selesai tanpa proses hukum memadai terhadap pelaku.

Perlu merumuskan definisi hukum terkait intoleransi dan ekstrismisme sebagai suatu delik kejahatan sehingga menjadi terang dan bukan sebatas persepsi dan asumsi sepihak lembaga penegak hukum.

Pelaksanaan Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM harus menjadi nilai yang inheren dalam setiap diri polisi dalam melaksanakan tugas dilapangan dan bukan sekedar formil aturan diatas kertas.

Sebagai akhir, tentu tantangan kian kompleks kedepan seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dengan kemajuan informasi dan teknologi. Kejahatan siber makin berkembang selain kejahatan konvensional.

Penegakan hukum tidak boleh kosong dengan nilai moral dan ajaran agama dan bukan mengedepankan penegakan hukum semata-mata tetapi juga  menjaga rasa damai dan menjadi pendamai ditengah masyarakat. Menanti Komjen Sigit sebagai anak-anak Allah dan manifestasi kristus di bumi.(*)

Jakarta, 20 Januari 2021.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved