Sriwijaya Air Jatuh
Penyebab Sriwijaya Air Jatuh Bukan Disorientasi Pesawat Tapi Elevator, Andi Isdar Yusuf: Tunggu KNKT
Andi Isdar Yusuf menyangsikan penyebab Sriwijaya Air jatuh karena disorientasi.Pengamat penerbangan Isdar Yusuf menduga elevator sriwijaya air copot
Statistik FAA menunjukkan sebanyak 5% hingga 10% kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi dan mayoritas mengakibatkan korban jiwa.
Disorientasi pernah dialami sang pilot Ethiopian Airlines 409 tipe Boeing 737-800 yang jatuh di Beirut, Lebanon pada 2010 silam.
Merujuk laporan investigasi yang diterbitkan, pada saat kejadian malam hari, situasi cuaca sedang tidak mendukung dengan awal tebal yang menyebabkan langit terlihat hitam pekat.
Mulanya, sudut kemiringan pesawat terlalu ke kanan pada saat terbang sesaat setelah lepas landas. Kemudian, alarm berbunyi agar menstabilkan kondisi.
Pilot menggeser ke kiri untuk menyeimbangkan, tapi kemudian justru sudut kemiringan yang diambil melebihi batas dan pesawat tidak seimbang.
"Ethiopian Airline 409 ini jatuhnya sama (dengan Sriwijaya PK-CLC). Setelah take-off, dia belok ke kanan, itu mulai disorientasi, kemudian belok ke kiri," katanya.
Ketinggian Sriwijaya Air
Disebutkan, sriwijaya air jatuh di laut dari puncak ketinggian 3.322 mdpl hingga 76 mdpl. Pada saat menyentuh air, diduga mesin pesawat belum mati sehingga masih mengirimkan data koordinat, ketinggian, dan kecepatan.
Data radar (ADS-B) yang diperoleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dari Airnav Indonesia juga menunjukkan demikian.
"Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," merujuk rilis Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono.
Seberapa cepat pesawat terjun bebas? Menilik data Flightradar24, kecepatan vertikal (vertical speed) pesawat puncaknya hingga -30.000 kaki per menit (fpm). Angka minus dalam data tersebut, menunjukkan pesawat terjun bebas.
aat terjadi puncak kecepatan vertikal, pesawat berada di ketinggian 8.125 kaki atau sekitar 2.476 mdpl, pada pukul 14:40:16 WIB.
Secara matematis, dengan kecepatan tersebut, ia hanya membutuhkan 16 detik untuk menyentuh air. Tapi, kenyataannya, baru 11 detik dia sudah hampir jatuh ke laut, berada di ketinggian 76 mdpl.
"Kalau misal sampai secepat itu, sepertinya dia jatuh ke laut dengan tenaga. Kalau mesin mati, dia tidak bisa turun secepat itu," kata Gerry.
Yang perlu dicermati dari data tersebut, pesawat sempat mengirimkan data radar dengan kecepatan vertikal bernilai positif, 20.000 fpm, setelah terjun bebas. Nilai positif bisa diartikan posisi pesawat menanjak.
Tapi, dalam konteks pesawat PK-CLC, belum tentu pesawat sempat menanjak setelah terjun bebas.
"Vertical speed itu penghitungan berbagai variabel yang dikirim pesawat. Kalau setelah jatuh itu ada nilai positif 20 ribu, itu sudah melebihi batas kemampuan alat itu memberikan angka yang akurat, sehingga tidak mungkin climbing (naik)," kata Gerry.
"Dugaannya, ada serpihan pesawat yang mental (dan mengirimkan data). Tapi masa sampai kecepatan 20 ribu? Itu yang harus diteliti."
Kejadian serpihan pesawat yang terpental kemudian mengirim data pernah dialami Air France 447 yang melayani rute Rio de Janeiro, Brasil menuju Paris, Prancis pada 2009 silam.
"Saat dia jatuh kena air, dia masih mengirim data Cabin Pressurization (tekanan udara di kabin). Kondisi pesawat saat itu sudah terbelah, listrik putus, tapi alat belum mati karena antena belum kehabisan listrik. Pas dicek dengan FDR (data penerbangan), dia sudah pecah pada saat mengirim data," katanya.(*)