Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sriwijaya Air Jatuh

Penyebab Sriwijaya Air Jatuh Bukan Disorientasi Pesawat Tapi Elevator, Andi Isdar Yusuf: Tunggu KNKT

Andi Isdar Yusuf menyangsikan penyebab Sriwijaya Air jatuh karena disorientasi.Pengamat penerbangan Isdar Yusuf menduga elevator sriwijaya air copot

Penulis: AS Kambie | Editor: AS Kambie
Dok: Isdar Yusuf
Andi Isdar Yusuf SH MH, pengamat penerbangan 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Misteri penyebab Sriwijaya Air jatuh semakin mengarah. Komisi Nasional Keselamatan Transportasi, KNKT, sudah mengunduh rekaman black box Sriwijaya Air SJ-182. Kotak Hitam Sriwijaya Air SJ182 atau Flight Data Recorder (FDR) diangkat dan diserahkan ke KNKP pada 13 Januari 2021.

Hanya saja, KNKT belum merilis ini rekaman black box Sriwijaya Air SJ-182. Belum ada pernyataan resmi dari KNKT terkait penyebab Sriwijaya Air jatuh. Yang beredar di media sosial terkait penyebab Sriwijaya Air jatuh masih bersifat dugaan.

Analisis sementara juga menyebutkan Sriwijaya PK-CLC tersebut hendak berpindah jalur sehingga

pilot mengalami disorientasi. Pindah jalur dan disorientasi pesawat itu membuat pesawat oleng dan terjun bebas dalam kondisi mesin masih hidup. Analisis ini didapatkan dari hasil rekam jejak penerbangan yang dirilis Flightradar24.com.

Dugaan pindah jalur disangkali pengamat penebangan Isdar Yusuf. Menurut Andi Isdar Yusuf, perpindahan jalur saat sedang climbing pesawat, atau saat pesawat sedang terbang naik, itu biasanya datang dari tower atau Jakarta Tower Control (JTC).

Dalam penerbangan, climbing pesawat adalah kondisi saat pesawat sedang terbang naik.

Menurut pengamat penerbangan Isdar Yusuf, biasanya JTC meminta pesawat pindah arah dikarenakan ada traffic, atau ada pesawat yang mau mendarat atau terlalu padat pesawat yang mau mendarat ketimbang yang mau take off.

“Kita juga tidak boleh terlalu cepat mengambill kesimpulan bahwa penyebab Sriwijaya Air jatuh karena mengalami disorientasi sehingga oleng dan pilot bingung,” ujar pengamat penerbangan Isdar Yusuf.

Kalau terjadi disorientasi dan pindah arah pada pesawat Sriwijaya Air SJ182 dan dilakukan oleh pilot, maka itu bisa dikatakan human factor tapi bukan berarti disorientasi arah membuat pesawat oleng sehingga pilot tidak bisa melakukan handling.

“Saya tidak yakin. Kenapa? Karena dua pilot ini masing-masing memiliki tugas untuk mengawasi pesawat ketika sedang climbing. Ini waktu di mana dua pilot betul-betul total fokus,” tegas Andi Isdar Yusuf.

Disorientasi ruang atau disorientasi pesawat adalah kondisi yang terjadi karena ketidakmampuan pesawat mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang.

Menurut pengamatan pengamat penerbangan Isdar Yusuf, Sriwijaya Air SJ182 tujuan Jakarta-Pontianak tersebut kecil kemungkinan mengalami disorientasi karena posisinya masih di ketinggian 2.000-an meter. Andi Isdar Yusuf tetap berpendapat besar kemungkinan penyebab Sriwijaya Air jatuh karena elevator copot atau tidak berfungsi

Yang dalam lingkaran itulah elevator pesawat. Ia terhubung langsung dengan kemudi dan berfungsi menaik-turunkan pesawat.
Yang dalam lingkaran itulah elevator pesawat. Ia terhubung langsung dengan kemudi dan berfungsi menaik-turunkan pesawat. (dok.tribun)

Lebih lanjut Andi Isdar Yusuf mengatakan, disorientasi pesawat umumnya terjadi saat pesawat dalam posisi cruising.  Cruising pesawat adalah posisi pesawat saat sedang terbang datar.

“Seperti yang perna dialami pesawat Adam Air tujuan Makassar tapi mendarat di NTB. Itu karena disorientasi, karena malam yang kelam, gelap gulita,” kata Andi Isdar Yusuf.

Tapi kondisi disorientasi biasanya bisa diatasi oleh pilot. Berbeda dengan situasi krusial yang dialami Sriwijaya SJ182 itu.

Menurut pengamat penerbangan Isdar Yusuf, biasanya pesawat saat di ketiginggain di atas dua ribu kilometer itu, outomatic pilot on.

Pilot otomatis atau outomatic pilot adalah sebuah sistem mekanikal, elektrikal, atau hidraulik yang memandu sebuah kendaraan tanpa campur tangan dari manusia. Umumnya pilot otomatis dihubungkan dengan pesawat, tetapi pilot otomatis juga digunakan di kapal dengan istilah yang sama.

“Sampai naik ke 10 ribu (10 ribu kilometer), kedua pilot masih tetap fokus mengintrol seluruh instrumen-instrumen menuju di ketinggian. Inilah momen di mana kedua pilot betul-betul fokus dan total bekerja. Maka kecil kemungkinan pilot terjadi disorientasi yang membuat pesawat oleng karena dia pindah jalur,” jelas Andi Isdar Yusuf.

Disorientasi pesawat, kata pengamat penerbangan Isdar Yusuf, biasanya terjadi di penerbangan malam, terutama malam yang kelam. “Gelap gitu lho,” ujar Andi Isdar Yusuf.

Karena, lajut pengamat penerbagan Isdar Yusuf, masih tetap pada dugaan semula bahwa penyebab Sriwijaya Air jatuh karena elemen kompas yang tidak berfungsi, terutama elevator. “Jadi ini dugaan ya, saya tetap pada dugaan bahwa elevator  SJ182 itu tidak berfungsi atau copot,” jelas Andi Isdar Yusuf.

Dugaan Disorientasi

Digaan disorientasi sebagai penyebab Sriwijaya Air jatuh dikaitkan dengan infirnasi situs pelacak penerbangan. Situs ini mengombinasikan data dari Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B), Multilateration (MLAT), dan data radar.

Ketiganya diagregasi dan dikombinasikan dengan jadwal dan status penerbangan dari maskapai dan bandara untuk menghasilkan rekam jejak.

Merujuk data Flightradar24, sejak kembali aktif mengudara pada 19 Desember 2020, pesawat PK-CLC terbang dengan rute yang sama sebanyak sembilan kali.

Peta di bawah menggambarkan tiga penerbangan terakhir Jakarta-Pontianak, yakni pada 3 Januari 2021, 9 Januari 2021 saat pagi hari pukul 05.14 WIB dan siang hari pukul 14.36 WIB.

Apabila digabungkan dengan data prosedur keberangkatan (Standard Instrument Departure) yang dirilis Kementerian Perhubungan, tampak dua jalur yang biasa ditempuh oleh pesawat.

Jalur pertama seperti yang tergambar pada rekam penerbangan 9 Januari pagi hari (garis berwarna biru).

Setelah lepas landas dari bandara, pesawat akan diarahkan menuju titik yang disebut Winar dan belok ke kanan, ke titik Arjuna. Dari Arjuna, dia kemudian bergerak ke timur laut (pada peta, ke arah serong atas kanan) menuju Pontianak.

Pada beberapa kondisi, pesawat bisa diarahkan ke titik Abasa, jalur pintas. Perjalanan ini nampak pada penerbangan 3 Januari (garis berwarna hijau), yang menjadi pilihan jalur kedua.

Sesuai prosedur, perpindahan jalur ke titik Abasa biasa terjadi jika cuaca baik, tidak ada awan tebal, dan kondisi lalu lintas di udara cenderung sepi sesuai arahan Air Traffic Controller (ATC). Setelah dari Abasa, dia akan bergerak menuju destinasi.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, kondisi cuaca kala pesawat terbang sedang hujan dan disertai petir dengan jarak pandang sejauh 2 kilometer. Meski demikian, cuaca ini dikategorikan layak terbang atau mendarat.

Upaya perpindahan jalur ke Abasa diduga dilakukan oleh sang pilot pada penerbangan 9 Januari siang hari itu, sebelum kecelakaan terjadi.

"Diarahkan ke jalur pintas itu bukan masalah dan wajar, tapi belum sampai (jalur pintas), dia terus oleng dan jatuh," ujar pengamat penerbangan Gerry Soejatman, saat dihubungi jurnalis BBC, Aghnia Adzkia pada Selasa (12/1).

Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa.

Alih-alih berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, ia justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh.

Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik.

Dari data yang sama, apabila digambarkan dalam bentuk tiga dimensi seperti video di bawah menggunakan data ketinggian pesawat, maka akan tampak arah jalur pesawat yang tak beraturan saat oleng dan jatuh.

Gerry memperkirakan, sang pilot mengalami disorientasi. Meski demikian, ia menjelaskan, hal ini bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat. Terlebih, kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab.

"Ada kemungkinan disorientasi atau human factors. Tapi saya juga tidak bisa memastikan kapan disorientasi dimulai," kata Gerry.

"Analogi disorientasi itu kalau jalan di ruangan gelap dan mata ditutup, kita berpikir ini tegak tapi ternyata miring, berpikir naik tapi ternyata turun. Sekalipun pilot senior bisa disorientasi."

Mengutip lama Federation Aviation Administration, disorientasi ruang terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang.

Gangguan sistem keseimbangan tubuh bisa terjadi karena adanya gangguan sensor dan ilusi.

Tiga rangsangan sensorik yang berperan membentuk keseimbangan tubuh di antaranya penglihatan, saraf vestibular di telinga bagian dalam, dan proprioception atau persepsi rangsangan untuk mengetahui posisi tubuh.

Orientasi ruangan saat terbang sulit dicapai, tergantung dari arah, kekuatan, dan frekuensi stimulus ketiga sensor. Jika ketiganya tidak bekerja dengan baik, maka akan terjadi konflik sensorik yang menyebabkan otak tidak bisa mengidentifikasi arah dan posisi.

"Itu kenapa saat terbang harus mengandalkan instrumen dan manual," katanya.

Statistik FAA menunjukkan sebanyak 5% hingga 10% kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi dan mayoritas mengakibatkan korban jiwa.

Disorientasi pernah dialami sang pilot Ethiopian Airlines 409 tipe Boeing 737-800 yang jatuh di Beirut, Lebanon pada 2010 silam.

Merujuk laporan investigasi yang diterbitkan, pada saat kejadian malam hari, situasi cuaca sedang tidak mendukung dengan awal tebal yang menyebabkan langit terlihat hitam pekat.

Mulanya, sudut kemiringan pesawat terlalu ke kanan pada saat terbang sesaat setelah lepas landas. Kemudian, alarm berbunyi agar menstabilkan kondisi.

Pilot menggeser ke kiri untuk menyeimbangkan, tapi kemudian justru sudut kemiringan yang diambil melebihi batas dan pesawat tidak seimbang.

"Ethiopian Airline 409 ini jatuhnya sama (dengan Sriwijaya PK-CLC). Setelah take-off, dia belok ke kanan, itu mulai disorientasi, kemudian belok ke kiri," katanya.

Ketinggian Sriwijaya Air

Disebutkan, sriwijaya air jatuh di laut dari puncak ketinggian 3.322 mdpl hingga 76 mdpl. Pada saat menyentuh air, diduga mesin pesawat belum mati sehingga masih mengirimkan data koordinat, ketinggian, dan kecepatan.

Data radar (ADS-B) yang diperoleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dari Airnav Indonesia juga menunjukkan demikian.

"Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," merujuk rilis Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono.

Seberapa cepat pesawat terjun bebas? Menilik data Flightradar24, kecepatan vertikal (vertical speed) pesawat puncaknya hingga -30.000 kaki per menit (fpm). Angka minus dalam data tersebut, menunjukkan pesawat terjun bebas.

aat terjadi puncak kecepatan vertikal, pesawat berada di ketinggian 8.125 kaki atau sekitar 2.476 mdpl, pada pukul 14:40:16 WIB.

Secara matematis, dengan kecepatan tersebut, ia hanya membutuhkan 16 detik untuk menyentuh air. Tapi, kenyataannya, baru 11 detik dia sudah hampir jatuh ke laut, berada di ketinggian 76 mdpl.

"Kalau misal sampai secepat itu, sepertinya dia jatuh ke laut dengan tenaga. Kalau mesin mati, dia tidak bisa turun secepat itu," kata Gerry.

Yang perlu dicermati dari data tersebut, pesawat sempat mengirimkan data radar dengan kecepatan vertikal bernilai positif, 20.000 fpm, setelah terjun bebas. Nilai positif bisa diartikan posisi pesawat menanjak.

Tapi, dalam konteks pesawat PK-CLC, belum tentu pesawat sempat menanjak setelah terjun bebas.

"Vertical speed itu penghitungan berbagai variabel yang dikirim pesawat. Kalau setelah jatuh itu ada nilai positif 20 ribu, itu sudah melebihi batas kemampuan alat itu memberikan angka yang akurat, sehingga tidak mungkin climbing (naik)," kata Gerry.

"Dugaannya, ada serpihan pesawat yang mental (dan mengirimkan data). Tapi masa sampai kecepatan 20 ribu? Itu yang harus diteliti."

Kejadian serpihan pesawat yang terpental kemudian mengirim data pernah dialami Air France 447 yang melayani rute Rio de Janeiro, Brasil menuju Paris, Prancis pada 2009 silam.

"Saat dia jatuh kena air, dia masih mengirim data Cabin Pressurization (tekanan udara di kabin). Kondisi pesawat saat itu sudah terbelah, listrik putus, tapi alat belum mati karena antena belum kehabisan listrik. Pas dicek dengan FDR (data penerbangan), dia sudah pecah pada saat mengirim data," katanya.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved