OPINI
Entropi Meritokrasi
Sudah sebulan lebih debat calon kepala daerah 2021 – 2025 tergelar di berbagai saluran televisi.
Penulis: CitizenReporter | Editor: Suryana Anas
Oleh Setiawan Aswad Widyaiswara, BPSDM Prov Sulsel
Sudah sebulan lebih debat calon kepala daerah 2021 – 2025 tergelar di berbagai saluran televisi.
Berbagai visi, misi dan program prioritas unggulan dijanjikan oleh para kandidat.
Ketika berjanji tentang perbaikan kinerja pelayanan publik dan birokrasi pemerintahan, semua kandidat memimpikan serta menawarkan konsepsi dan implementasi meritokrasi.
Secara teoritis empiris, tidak ada yang meragukan kemanjuran meritokrasi – tatanan pemerintahan yang berdasarkan sistem merit - kombinasi kecerdasan (kualifikasi & kompetensi) dan prestasi kinerja - dalam pemberian pelayanan publik yang handal.
Tapi janji adalah asa penyelesaian persoalan secara ideal dan normatif. Ia kemudian akan diuji pada tataran empiris ketika sang kandidat telah terpilih, dilantik dan mulai berkuasa.
Dalam banyak kasus, terjadi kesenjangan antara janji dan praktek pembuktian. Para suksesor kepala daerah pun mulai terkena sindrom rabun dekat akan gejala entropi meritokrasi.
Entropi & Indeks Sistem Merit
Entropi lebih dikenal luas dan dekat dengan khasanah ilmu pasti.
Menurut hukum termodinamika, entropi adalah gejala yang menunjukkan ketidakaturan yang terjadi pada sebuah sistem yang kemudian berdampak pada keseimbangan energi, produktivitas dan kinerja sistem tersebut.
Derajat keteraturan meritokrasi, dapat terpantau dari ketercapaian Indeks Sistem Merit, yaitu ukuran perbandingan yang disusun oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk melihat penerapan sistem merit sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Indeks ini mengukur penerapan basis sistem merit - kualifikasi, kompetensi dan kinerja - dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) pada sektor publik di Indonesia, mulai dari perencanaan kebutuhan ASN hingga penerapan sistem informasi yang mendukung implementasi sistem merit dalam proses MSDM tersebut.
Hampir pasti, semakin rendah capaian indeks maka semakin tinggi entropi meritokrasinya. Kian tinggi entropi meritokrasi sebuah pemerintahan, dalam logika David Easton (1957), pencetus analisis sistem politik moderen, akan semakin tidak signifikan ia terhadap lingkungannya, khususnya di mata mereka yang dilayaninya. Dan ini pada akhirnya akan mengancam legitimasi dan survival rezim pemerintahan tersebut.
Mengokohkan Meritokrasi
Birokrasi pemerintahan dengan lingkungan internal dan eksternalnya yang beragam kepentingan dan latarbelakangnya, tentu saja sangat rentan terhadap gejala entropi.
Fenomena maraknya pergeseran personil pemerintahan yang dipaksakan, beberapa saat sebelum dan pasca pilkada yang bernuansa kepentingan kelompok, bisa mengindikasikan lemahnya komitmen atau adanya gangguan yang subtansial pada sistem merit.
Karenanya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam melembagakan mekanisme yang berintegritas dan mampu menjaga sistem merit serta mencegah terjadinya spontanitas yang melesatkan gejala entropi.
Perjalanan panjang reformasi birokrasi sudah merefleksikan upaya tersebut dan telah memperlihatkan beberapa capaian signifikan.
Pun demikian, pada beberapa aspek MSDM, kerja yang lebih maksimal perlu dilakukan.
Sorotan KASN (2018) akan pola pengembangan karir khususnya mutasi/rotasi/promosi/demosi yang hanya transparan dan fokus pada Jabatan Pimpinan Tinggi, tetapi cenderung “gelap” pada level jabatan di bawahnya sehingga kepastian jenjang karir menjadi bias/rancu, mengindikasikan gejala entropi.
Pada tataran operasional, ratifikasi dalam bentuk regulasi teknis turunan di daerah atas berbagai norma nasional yang menjadi acuan sistem merit, masih sangat lemah.
Akibatnya manifestasi keterkaitan yang kuat antara hasil penilaian kompetensi, kinerja dan kualifikasi dalam menjustifikasi secara obyektif pengalokasian pegawai dalam jabatan sering kali tidak terlihat.
Belum lagi ketiadaan standar kompetensi jabatan atau tersedia tapi bersifat umum sehingga sukar diukur dan belum tersusunnya pola karir yang jelas, turut menjadi insentif pelemahan meritokrasi.
Menurut Agus Dwiyanto (2015) mantan Ketua Lembaga Administrasi Negara RI, birokrasi yang transparan bisa menjadi titik ungkit yang kuat dalam mengurangi gejala entropi meritokrasi.
Dengan transparansi, publik bisa mengetahui rasionalitas tingkah laku pemerintahan. Keterbukaan pemerintahan dapat memberi akses bagi masyarakat untuk peduli, terlibat dan mempunyai rasa memiliki (ownership) serta melakukan pengawasan jalannya reformasi birokrasi.
Menyediakan infrastruktur sistem merit khususnya standar kompetensi jabatan, manajemen kinerja dan pola karir adalah pekerjaan yang harus segera dituntaskan. Selanjutnya membakukan proses MSDM secara digital sehingga rekam jejak aspek sistem merit seorang ASN tertangkap jelas, juga menjadi cara yang efektif untuk mencegah munculnya entropi.
Penggunaan sistem informasi teknologi yang mengintegrasikan proses dan hasil penilaian pemenuhan/pengembangan kompetensi, kinerja, kualifikasi, pola karir dan kinerja seorang ASN akan menjadi sangat penting.
Sistem ini juga akan bertindak sebagai basis data tunggal sistem merit yang utuh dalam pengambilan keputusan alokasi jabatan ASN.
Terakhir tetapi justru yang terpenting adalah, komitmen para elite birokrasi pemerintahan: dari pejabat atasan hingga Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam menjaga marwah sistem merit, akan sangat menentukan rendahnya entropi meritokrasi.
Mengedepankan tindakan nyata (affirmative actions) dalam membuat birokrasi apolitis, mengesampingkan pertimbangkan nepotisme dan menjaga integritas proses penerapan sistem merit, menjadi tantangan tersendiri buat elite birokrasi.
Bagi masyarakat, meritokrasi adalah idaman, karena ia bisa menguatkan keyakinan bahwa kepercayaan dan sumber daya yang mereka berikan selama ini kepada pemerintah, dapat dikelola secara efisien, efektif dan akuntabel dalam memfasilitasi pengejaran mereka akan kualitas hidup dan kemanusiaan yang lebih baik serta bermartabat. (*)