Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Angket DPRD Takalar

Pengamat Hukum UMI Sebut Ancaman Jemput Paksa Angket DPRD Takalar Melanggar

Panitia hak angket DPRD Takalar kini mengancam menjemput paksa enam pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Takalar.

Penulis: Ari Maryadi | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM/ARI MARYADI
Pengamat Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr Zainuddin 

TRIBUN-TIMUR.COM, TAKALAR - Penggunaan hak angket DPRD Kabupaten Takalar terus bergulir meski dinilai melanggar mekanisme Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 oleh sejumlah pihak.

Panitia hak angket DPRD Takalar kini mengancam menjemput paksa enam pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Takalar.

Panitia hak angket DPRD Takalar menilai enam pejabat OPD sudah dua kali mengabaikan panggilan sidang.

Permintaan penjemputan atau pemanggilan paksa terhadap kepala dinas pun telah dilayangkan Pansus Angket kepada kepala Polres Takalar sejak pekan lalu.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Zainuddin mengatakan, pemanggilan paksa oleh lembaga legislatif termasuk pelanggaran berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.16/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian UU No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pasal 73 dan Pasal 383 terkait kewenangan panggilan paksa pada orang, kelompok maupun badan hukum atau instansi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

“Putusannya menyatakan bahwa panggilan paksa tersebut merupakan upaya perampasan hak pribadi seseorang atau badan/instansi yang hanya dikenal dalam proses penegakan hukum pidana (pro justicia)," kata Dr Zainuddin dalam keterangan pers yang diterima tribun-timur.com, Rabu (21/10/2020).

Menurutnya, hal itu telah diatur secara tegas (stricta) dalam KUHAP mengenai mekanisme penggunaan dan larangannya untuk tindakan tindakan selain untuk pro justicia penegakan hukum.

Wakil dekan Fakultas Hukum UMI itu menegaskan, MK berpendapat bahwa DPRD adalah lembaga politik bukan lembaga penegak hukum sehingga kehilangan relevansinya.

Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa secara historis panggilan paksa hanya diperuntukkan untuk panggilan di depan persidangan pengadilan dan itu jelas serta tegas dalam konsep penegakan hokum.

“Hal ini juga semata mata sebagai perwujudan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dijamin oleh konstitusi, jadi kalau DPRD mau menjemput paksa, maka saya tegaskan itu melanggar,” ungkapnya.

Sementara Direktur Madani Institut menjelaskan, terkait kewenangan panggilan paksa DPRD serta PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Pada Pasal 75 ayat (3) oleh MK juga dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Pasal yang dinilai bertentangan itu berbunyi yaitu jika pejabat, badan hukum, atau warga masyarakat yang telah dipanggil dengan patut secara berturut turut tidak memenuhi panggilan, DPRD dapat memanggil secara paksa dengan bantuan kepolisian

Putusan MK dinilainya juga bersifat erga omnes yang artinya tidak hanya berlaku bagi para pihak yang menguji ke MK.

Melainkan juga mengikat semua pihak termasuk berdampak kepada norma lain yang identik dan sejenis, yang ada dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved