Koalisi Selamatkan Laut Indonesia dan ASP Sebut Polair Sulsel Intimidasi Nelayan Kodingareng
Aktivitas penambangan tersebut berjarak sekitar 8 Mil dari Pulau Kodingareng Lompo dengan daya rusak seluas 4 Mil.
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Koalisi Selamatkan Laut Indonesia dan Aliansi Selamatkan Pesisir mengecam serangkaian tindakan intimidatif anggota Polairud Sulsel terhadap sejumlah nelayan di Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar.
Melalui siaran pers yang dikirim, Senin (28/9/2020), Tindakan intimidatif itu mulai muncul sejak PT Royal Boskalis Internasional melakukan penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Aktivitas penambangan tersebut berjarak sekitar 8 Mil dari Pulau Kodingareng Lompo dengan daya rusak seluas 4 Mil.
Pasir tambang tersebut digunakan untuk timbunan reklamasi proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP).
Di sisi lain, sejak awal diakui oleh pihak perusahaan dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bahwa mereka tidak pernah melakukan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai rencana penambangan tersebut kepada masyarakat Pulau Kodingareng.
Kemudian saat ini, hasil pemantauan dan kajian Aliansi Selamatkan Pesisir dan nelayan Kodingareng menunjukkan bahwa kegiatan penambangan oleh PT Royal Boskalis Internasional telah merubah dan merusak wilayah tangkap nelayan di perairan Galesong Utara.
Air laut menjadi keruh, gelombang tinggi, dan kerusakan ekosistem laut. Akibatnya, selama enam bulan terakhir hasil tangkapan nelayan berkurang drastis bahkan dalam satu harinya sama sekali tidak mendapat ikan.
Masyarakat Pulau Kodingareng yang mengetahui wilayah tangkap ikan tersebut bermasalah melakukan sejumlah protes terhadap kegiatan pertambangan, namun bukan jawaban yang mereka dapatkan melainkan penangkapan bahkan tindakan kekerasan dari Polairud Polda Sulsel.
Aliansi Selamatkan Pesisir bersama Koalisi Selamatkan Laut Indonesia mencatat enam praktik intimidatif baik secara verbal maupun nonverbal oleh Polairud Polda Sulsel yang terjadi sejak Juli-September 2020.
Praktik tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan hingga penangkapan dan penahanan masyarakat atau nelayan Kodingareng.
Sejumlah peristiwa tersebut terjadi ketika nelayan dan sejumlah masyarakat Kodingareng melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan penambangan PT Royal Boskalis Internasional guna mempertahankan ruang hidup mereka.
Adapun dari serangkaian praktik intimidatif tersebut, kami menemukan beberapa pola yang terjadi selama ini di Kodingareng:
1. Pola pembatasan atau penanganan aksi masyarakat dan nelayan Kodingareng menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur.
2. Penanganan aksi diarahkan secara khusus kepada masyarakat dan nelayan Kodingareng, serta aktivis, dan pers mahasiswa yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusinya untuk bersolidaritas dan melindungi lingkungannya.
3. Langkah yang diambil oleh Polairud Polda Sulsel tidak memperhatikan peraturan hukum yang semestinya.