OPINI ASWAR HASAN
Dari Einstein Balik ke Al Gazali
Bagi Albert Einstein, "sains tanpa agama lumpuh atau timpang. Sedangkan agama tanpa sains buta."
Dalam pengertian ini, menurut Einstein, ia menyatakan dirinya sebagai lelaki religius yang taat.
Ketaatan religius Einstein ternyata berangkat dari pengalaman emosional mistis.
Al Gazali telah menjawabnya
Pernyataan Einstein untuk tidak memisah sains dan agama, ternyata sekitar sembilan ratus tahun yang lalu, telah diformulasikan oleh Hojjatul Islam Imam Al Gazali (1058-1111).
Imam Al Gazali berkata: jika seseorang hanya menekuni ilmu nalar (ilmu umum) tanpa agama, maka ia menyia-nyiakan umurnya yang tak berguna di akhirat.
Sebaliknya, jika ia menekuni agama saja, maka ia tak mengerti agama selain kulitnya tanpa bisa memahami esensi atau hakekatnya.
Implikasinya lebih lanjut, Ilmu syariat takkan tercapai, kecuali dengan ilmu akal.
Sayangnya, Al Gazali banyak disalahpahami karena dianggap sebagai ulama tasawuf saja, yang hanya mengedepankan bagaimana pentingnya hati dan mengabaikan akal, lebih konsen menggeluti masalah spritualitas dan mengabaikan rasionalitas.
Khususnya Jika kita melihat Al Gazali yang hanya identik dengan karya Ihya Ulumuddin yang telah massif diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
• VIDEO: Relawan Banjir Bandang Luwu Utara Demo Penanganan Sampah di Pengungsian Meli
Padahal, jika kita menyimak dialektika berfikirnya, khususnya dengan membandingkan dan menyimak karya beliau yang lainnya, seperti; Mi`yar al-Ilm (standar pengukuran pengetahuan), Al-Qistas al-Mustaqim (tentang keseimbangan), Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (Tentang Logika) karya- karya beliau itu menggali ilmu- ilmu dengan rasionalitas yang tinggi.
Bahkan, kesalahpahaman itu semakin menjadi- jadi, ketika mempersepsi Al Gazali secara diametral tanpa dialektika ketika terpaku pada karyanya yang mengkritik/menentang para philosof (yang tepat sebenarnya adalah meluruskan) Tahafut al Falasifah
Hal itu pernah jadi heboh ketika kemudian dibalas oleh Ibnu Rusyd dengan bukunya yang berjudul Tahafut at Tahafut yang kemudian dianggap bantahan meluruskan kesesatan falsafahnya (Tahafut al Falasifahnya) Al Gazali.
Al Gazali sesungguhnya tidak menentang rasionalitas, yang kemudian menjadi fundamental value sistem berfikir kaum philosof, khususnya kaedah berpikir sebab akibat yang kini menjadi landasan empirisme yang positivistik ilmuan Barat.
Tetapi mengingatkan bahwa hukum sebab akibat yang empiris positivistik itu tidak bersifat mutlak.
Al Gazali bukan berarti menolak hukum kausalitas -sebab akibat-, tetapi melihatnya tidak berlaku secara mutlak.