Sosok KH Abdul Wahid Hasyim, Ayah dari Para Gus Ternama dan Pahlawan Bangsa
Wahid Hasyim lahir di Jombang pada 1 Juni 1914. Pada usia ke 25, Wahid Hasyim menikah dengan Solichah, putri K.H. Bisri Syansuri
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Anita Kusuma Wardana
K.H. Abdul Wahid Hasyim mulai berkecimpung mengelola pesantren pada 1916 ketika ia membantu K.H. Ma’sum, menantu K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengelola pesantren.
Wahid Hasyim membantu memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren dimana ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan.
Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan Pendidikan umum, seperti Bahasa Indonesia (Melayu), berhitung, dan Ilmu Bumi.
Pada 1926, K.H. Muhammad Ilyas memasukkan Bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan K.H. Hasyim Asy’ari.
Namun ternyata tidak semua pihak setuju dengan pengembangan pesantren seperti itu.
Banyak orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern.
Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.
Setelah pulang dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan memodernisasi, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik.
Wahid Hasyim mulai menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam organisasi.
Pada 1936, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) yang bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda secara langsung ia sendiri sebagai pemimpinnya.
Kegiatan IKPI diantaranya mendirikan taman baca.
Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran, dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah.
Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.
Pesantren Tebuireng menjadi pangkalan permulaannya untuk melaksanakan rencana meningkatkan pesantren hingga para santri sejajar dengan kaum intelektual.
Menurut K.H. Abdul Wahid Hasyim, perbedaan santri dan orang terpelajar barat adalah dalam hal pengetahuan umum.