TRIBUN WIKI
Kopi Setia, Kuandy Jita, dan Kho Ping Hoo
Penggalan kisahnya disadur dari buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang yang ditulis Andhy Pallawa
7. Dari Ghuang Dong ke Makassar
Kuandy Jita bersama pengurus Pengurus Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sulsel menemui Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah di Kantor Gubernur Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu (10/10/2018).
Kuandy Jita bercerita, awalnya ia bernama lengkap Djie Hong Kuan. Djie itu nama marganya. Hong artinya burung besar. Sedangkan Kuan artinya logam keras.
Namun namanya berubah saat rezim Orde Baru mewajibkan warga etnis Tionghoa yang bermukim di Nusantara agar menggunakan nama Indonesia.
Maka namanya pun berubah menjadi Kuandy Jita. Tapi ia tak tahu arti nama barunya ini.
Yang diketahuinya, ia lahir di Kaiping. Sebuah pedesaan masuk dalam wilayah Provinsi Ghuang Dong, Tiongkok selatan.
Tanggal lahirnya, ada dua versi. Pertama, Kuandy Jita disebut lahir pada Selasa, 21 Februari 1943.
Kedua, 17 Januari 1942. Versi terakhir inilah yang tercatat dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan dokumen resmi atas nama Kuandy Jita.
Perintis usaha Kopi Setia ini lahir dari pasangan Djie A Tjek dan Tjiang Chong Tak.
Pada 1949, Kuandy Jita dan ibunya meninggalkan Ghuang Dong menuju Makassar. Menggunakan kapal laut.
Makassar menjadi tujuan karena mengikuti panggilan ayahnya yang lebih awal bermukim di sini.
Di Makassar, Kuandy Jita dan keluarganya bermukim di Jalan Irian No 173. Rumahnya terbilang besar, walau bangunannya sangat sederhana.
Beratap seng tua. Berdinding kayu. Berlantai tegel yang terkesan mewah zaman itu.
Halaman rumahnya lumayan luas, 1.400 meter persegi. Sebagian digunakan untuk tempat penggergajian kayu.
Usaha penggergajian ayahnya terbilang modern dan besar saat itu.
Ketika kebanyakan usaha serupa masih menggunakan tenaga manusia, penggergajian ayahnya sudah menggunakan mesin yang diimpor dari luar negeri.
Pelanggannya, para pengrajin mebel yang banyak terdapat di Jalan Sulawesi, Jalan Jampea, dan Jalan Butung. Ada juga beberapa tukang kayu rumah tangga dan kontraktor yang sering bangun rumah.
Sejak kecil, Kuandy Jita tumbuh menjadi anak mandiri. Saat adiknya lahir, Kuandy Jita rutin menggantikan ibunya belanja ke Pasar Bacan.
Setiap hari ia juga harus memberi makan babi yang diternak ibunya. Untuk itu, ia selalu ke Pasar Bacan mencari sayur sawi, wortel, dan kangkung yang sudah layu dan dibuang penjualnya.
Sering pula mengumpulkan sisa-sisa makanan dan tulang ikan dari warung Pangkep di Jalan Andalas.
Pada 1958, Kuandy Jita berhenti sekolah. Saat itu sedang duduk di bangku kelas dua SMP.
Ia kemudian mengikuti kursus elektronik EKA di Jalan Bulusaraung (kini Jalan Jenderal M Jusuf). Lalu belajar di bengkel mesin bubut Sam Heng yang berada di depan rumahnya.
Seingat Kuandy Jita, Sam Heng adalah bengkel mesin bubut terbesar di Makassar pada masa itu. Salah satu pelanggannya adalah pabrik minya kelapa Heng Sun di Jalan Cakalang.
Ia berhenti bekerja di bengkel itu setelah mengalami kecelakaan yang menyebabkan ujung jari telunjuknya putus dan jari tengahnya terlipat.
Kuandy Jita kemudian pindah kerja ke Toko Mas Kim Weng di Jalan Somba Opu pada tahun 1962. Di sini, ia belajar menjadi tukang mas sekaligus tinggal bersama pemilik toko selama hampir setahun.
Karena tinggal menumpang, Kuandy Jita sudah bangun pukul 5 subuh dan segera bekerja. Karena ulet, Kuandy Jita bisa menyelesaikan satu kalung emas dalam sehari.
Sedangkan beberapa orang yang juga bekerja di Toko Mas Kim Weng butuh dua hari baru bisa menyelesaikan satu kalung emas serupa.
Kuandy Jita kemudian mencoba menjadi pedagang. Berawal dari ajakan Man Che, rekannya yang bermukim di Jalan Sangir, Makassar.
Man Che adalah cucu Liem Sam Cit, pemilik pabrik minyak kelapa dan termasuk orang terkaya di Manado, Sulawesi Utara, saat itu.
Kuandy Jita kemudian diajak ke Surabaya. Di Kota Pahlawan itu, ia dibekali modal usaha oleh keluarga Man Che.
Dengan kesepakatan 30 persen keuntungan untuk Kuandy Jita dan 70 persen untuk pemilik modal.
Kuandy Jita kemudian memulai perdagangan umum. Di Surabaya, ia membeli barang berupa rokok, gula pasir, semen, seng, dan berbagai kebutuhan lainnya untuk dikirim ke Makassar.
Pengiriman barang dilakukan menggunakan espedisi di Pelabuhan Tanjung Perak. Sering pula ia ikut mengantar langsung barang ke Makassar.
Setelah barangnya semua terjual di Makassar, barulah Kuandy Jita kembali lagi ke Surabaya. Usahanya ini memberinya lumayan untung.
Waktu itu, pengiriman barang melalui kapal laut hanya bisa dilakukan sekali dalam dua atau tiga pekan. Sehingga banyak waktu lowong.
Di sela-sela waktu lowong itu, Kuandy Jita juga menyempatkan membeli karung goni bekas di Makassar untuk dikirim ke Surabaya. Selisih harganya lumayan memberinya banyak untung.
Namun usahanya ini sempat terhenti gegara pembagian keuntungan tak lagi sesuai kesepakatan awal.
Kondisinya diperparah dengan kejadian kerusuhan rasial di Makassar pascaperistiwa G-30 S PKI.
Barang-barang dagangannya banyak dijarah. Toko perhiasannya di Pasar Sentral yang diurusnya juga tutup pada 1966.
Saat itu, Kuandy Jita telah mempersunting Yenny Suciandy, gadis pujaannya. Putri sulungnya, Emmy Jita, baru berusia setahun.
Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang