TRIBUN WIKI
Kopi Setia, Kuandy Jita, dan Kho Ping Hoo
Penggalan kisahnya disadur dari buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang yang ditulis Andhy Pallawa
1. Keliling Beli Biji Kopi Mentah ke Sinjai dan Polewali
Kuandy Jita (78) bercerita, usaha kopi yang dirintisnya berawal dari pertemuannya dengan Oei Mau Tjiang, teman sekolahnya di Ching Hua dahulu.
Ching Hua adalah sekolah setingkat sekolah dasar. Dulu berlokasi di Jalan Irian, Makassar.
Mau Tjiang mengajak Kuandy Jita berdagang dengan membeli biji kopi dan pisang kepo di Pasar Sentral Sinjai. Saat itu tahun 1967-an.
Dengan modal dari pinjaman berbunga dengan jaminan emas pemberian istri, Kuandy Jita pun berkeliling membeli kopi dan pisang kepo dari para pedagang dan pengumpul yang ditemui di Pasar Sentral Sinjai.
Kopi yang dibelinya kemudian dibawa ke Makassar. Lalu dijual kepada eksportir di kawasan Jalan Nusantara.
Sedangkan pisang kepo terlebih dulu dipotong-potong kecil dan dijemur. Setelah kering baru dijual ke pengrajin makanan untuk dibuat kripik manisan.
Lalu atas saran sopir bus Padaidi Padaelo, Kuandy Jita dan Mau Tjian pindah melakukan pembelian kopi dari Sinjai ke Monomulyo, Polewali.
Selain kualitasnya lebih bagus, juga bisa membeli dalam jumlah lebih banyak karena daerah ini memang dikenal sebagai sentra penghasil kopi.
Untuk menghemat pengeluaran karena biaya angkutan barang saat itu mahal, kopi yang dibeli tidak dikirim menggunakan truk atau mobil angkutan umum.
Ayah 4 anak ini memilih menumpang di mobil milik Pertamina yang menyalurkan minyak tanah dan bensin ke daerah-daerah. Termasuk ke Wonomulyo.
Empat karung berisi 400 kg biji kopi miliknya kemudian ditempel sebelah menyebelah di perut tangki yang diikat dengan tali plastik.
Sedangkan Kuandy Jita duduk di depan bersama sopir dan kernet.
Perjalananan Wonomulyo ke Makassar waktu sekira 14 jam.
Sebagai balas jasa, Kuandy tahu diri dengan mentraktir makan dan rokok kepada sopir dan kernetnya.
Namun suatu hari, musibah itu datang. Harga kopi mentah di pasar dunia tiba-tiba anjlok, di bawah harga pembelian di Polewali.
Semua eksportir segera menyesuaikan harga pembelian. Maka tak ada pilihan lain bagi Kuandy kecuali istirahat sembari menunggu harga kopi kembali normal.
Beruntung, Mau Tjiang mengenal pemilik toko Lien Hong Fat (Toko Ujung) di Jalan Somba Opu, Makassar.
Toko ini merupakan penjual kopi bubuk eceran terkenal di Makassar.
Oleh pemiliknya, The Dian Hong, anak dari Caddi Bangkeng, Kuandy Jita dipinjamkan alat penggilingan dan penggorengan kopi model drup putar tangan.
Alat sederhan ini berkapasitas 10 kg dengan masa penggorengan satu jam, memakai kayu bangko untuk pembakaran.
Penggorengan dilakukan di warung kopi An Cim di Jalan Buru, Makassar.
Dengan cara ini, Kuandy Jita dan Mau Tjiang bisa terhindar dari kerugian sebab harga kopi yang sudah digorengnya lebih mahal dibanding kopi mentah.
Apalagi pihak Toko Ujung juga bersedia membeli kopi yang digoreng Kuandy Jita.
Kadang jika teringat kejadian ini, hati Kuandy Jita berliput sedih.
Tetapi akhirnya ia meyakini bahwa setiap kesulitan selalu ada jalan keluarnya.
Ini sesuai pesan bijak leluhur orang Tiongkok: shi bai qi shi zhi you yi zhong na jiu shi ni ban tu er fei.
Artinya, kegagalan sebenarnya hanya satu: ketika meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.
Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang