TRIBUN WIKI
Kopi Setia, Kuandy Jita, dan Kho Ping Hoo
Penggalan kisahnya disadur dari buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang yang ditulis Andhy Pallawa
3. Naik Sepeda Butut Pasarkan Kopi dan Pesan Ayah
Kuandy Jita bersama sahabatnya
Tak lama kemudian, Kuandy Jita memesan mesin penggorengan modern yang sama dengan milik Mau Tjiang di bengkel milik Ance Sengah di Jalan Andalas, Makassar.
Seiring perjalanan waktu, pemasaran kopi produksi Kuandy Jita juga terus berkembang.
Mengatasnamakan izin usaha milik rekannya, Angko Siong Teng, Kuandy Jita menyuplai kopi ke Toko Ujung dan para pedagang kopi di Pasar Sentra Makassar, Pasar Cidu, Pasar Maccini, dan Pasar Pabaengbaeng.
Kopi yang disuplainya tak lagi terbatas pada kopi biji, tetapi juga kopi bubuk dalam kemasan.
Selain ke pasar, ia juga menyuplai bubuk kopi ke sejumlah warung kopi di Makassar yang umumnya dimiliki warga dari suku Hainan (salah satu etnis di Tiongkok).
Hampir semua warung kopi mereka menempati sudut-sudut jalan. Makanya mereka kerap dikenal dengan sebutan China Panyingkulu.
Kuandy Jita mengantar langsung kopi yang telah digorengnya ke pasar-pasar dan warung kopi tersebut setiap hari dengan naik sepeda butut.
Namanya juga usaha, tidak selalu berjalan mulus. Ketatnya persaingan, membuat Kuandy Jita harus banting tulang mencari peluang-peluang pasar yang baruagar tetap bisa eksis.
Termasuk memberi merk Bentoel dan Bendera untuk kopi bubuk kemasan yang dijualnya.
Ini dilakukan agar ada ciri khusus yang akan diingat oleh konsumen. Namun strateginya ini kurang berhasil.
Apalagi kemasannya masih menggunakan plastik. Sedangkan produksi serupa dari Jawa telah memakai kertas timah sehingga aromanya tetap terjaga dalam waktu lama.
Yang membuat Kuandy Jita bertahan bisnis kopi karena mengingat dan menghargai pesan ayahnya, Djie A Tjek, sebelum meninggal pada 1968.
Ketika itu ayahnya berpesan khusus agar Kuandy Jita fokus mengurus bisnis kopi.
“Usaha kopi harus dipertahankan. Selain karena masa depannya cerah, juga terbuti bisa menghidupi keluarga,” pesan ayah Kuandy Jita yang disapanya sebagai Papa.
Pesan almarhum ayahnya itu dicamkan baik-baik oleh Kuandy Jita.
Maka setiap mendapat untung dari usaha perdagangan umum, pemilik Shio Kambing ini terus membenahi dan menambah alat penggorengan kopinya.
Sehingga kapasitas produksi kopinya pun semakin besar dengan aroma yang lebih harum dan berminyak.
Setahun berikutnya, Kuandy Jita membangun pabrik penggilingan kopi yang lebih luas dan permanen. Berukuran 10 x 12 meter persegi.
Sumber: Buku Kuandy Jita, Gali Lubang Tutup Lubang