Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

KEINDONESIAAN

Pancasila di Universitas Hasanuddin

Rektor Unhas Natsir Said melaporkan hasil seminar. Gubernur Sulsel Kolonel Achmad Lamo memberikan sambutan dan sekaligus menutup seminar itu.

Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN TIMUR/ MUH ABDIWAN
Prof Dr Anwar Arifin AndiPate saat berbicara di Forum Dosen di Kantor Tribun Timur Makassar, Makassar, Kamis (12/1/2017). tribun timur/muhammad abdiwan 

Oleh Anwar Arifin AndiPate

BULAN Juni dikenal juga sebagai Hari Pancasila. Pada 1 Juni 1945, Soekarno dalam Rapat BPUPK menggagas Pancasila sebagai dasar negara Indonesia Merdeka kelak.

Tanggal 22 Juni 1945, lahir Piagam Jakarta yang memuat lima dasar negara yang kemudian disebut Pancasila.

Bulan Juni 1967, Unhas (Universitas Hasanuddin) menyelenggarakan Seminar Pancasila di Malino, Kabupaten Gowa. Dibuka Rektor Unhas Dr Mr M Natsir Said.

Prasaran disajikan antara lain: Mr A Zainal Abidin Farid, Drs.Mattulada, EA Mokodompit MA dan Drs Halide. Upacara penutupan seminar itu dilaksanakan di Gubernuran Makassar.

Rektor Unhas Natsir Said melaporkan hasil seminar. Gubernur Sulsel Kolonel Achmad Lamo memberikan sambutan dan sekaligus menutup seminar itu.

3 Pasien Corona Sembuh Tiba di Sinjai, Diminta Isolasi Mandiri di Rumah

Beberapa hari kemudian Bung Hatta datang ke Makassar dan menerima naskah hasil Seminar Pancasila itu di Unhas. Kemudian Bung Hatta dengan didampingi Rektor Unhas mengunjungi Kabupaten Sidrap, Wajo, Soppeng dan Bone.

Ikut dalam rombongan, Ketua IMMIM H Fadeli Luran dan sejumlah wartawan, termasuk penulis. Dalam setiap pidatonya Bung Hatta menjelaskan Pancasila sebagai ideologi negara yang antikomunis.

Akademisi Makassar khususnya Unhas perlu memahami peristiwa akademis mengenai Pancasila tersebut.

Terutama munculnya kontroversi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP). Sejumlah elemen masyarakat sivil (sipil) dan ormas Islam (NU, Muhammadiyah, dll) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak RUU-HIP itu dan mendesak RUU-HIP tidak dilanjutkan.

Karena tidak dicantumkannya Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 tentang larangan terhadap komunisme. Banyak juga materi dalam RUU-HIP dinilai bertentangan UUD-1945.

Misalnya dalam Pasal 7 RUU-HIP tertulis Pancasila berupa Trisila. Ketiganya adalah “sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan”. Kemudian Trisila yang dimaksud terkrislalisasi dalam Ekasila yaitu gotong-royong (Pasal 7 ayat 2-3).

Ormas Islam dan MUI menilai pasal tersebut yang ‘dicungkil’ dari Pidato Soekarno, 1 Juni 1945, merupakan penyusupan komunisme dalam RUU-HIP.

Pada masa lalu Partai Komunis Indonesia sangat mengampanyekan Eka-Sila tersebut untuk menjadi dasar negara dalam Konstituante (1955) karena dengan eka sila, Ketuhanan YME akan hilang.

4 Fakta Mahasiswa Pakai Uang Kuliah Bayar Terapis Plus-plus, Panik Wanita Teriak dan Dibunuh

Begitu besar dan luasnya penolakan terhadap materi RUU-HIP itu, PDIP sebagai pengusul bersedia berkompromi. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan resminya (Ahad,14/6/2020), menyatakan sepakat menghapus pasal diperasnya Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved