Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Siti Fadilah Supari vs WHO

Menyikapi situasi yang dilakukan SFS, seyogianya publik menilainya dalam konteks empirik-ilmiah. Perlu kearifan ilmiah yang bertanggung-jawab.

Editor: Jumadi Mappanganro
zoom-inlihat foto Siti Fadilah Supari vs WHO
tribun timur
forum studi humaniora makassar

Oleh: Muh Taufik Kasaming
Forum Studi Humaniora Makassar

Kembali publik diproblematik dengan viralnya sosok perempuan pemberani Siti Fadilah Supari. Disingkat SFS.

Beliau mantan Menteri Kesehatan era presiden SBY. Sekarang tengah menjalani sisa hukuman kurungan kasus korupsi.

Namun, terlepas pro dan kontra kasus korupsi yang menjerat SFS, publik tengah disuguhkan suatu lakon politik yang berwajah topeng, wayang, tapi berdalang tabir gelap.

Pernyataan SFS pada sebuah sesi wawancara khusus yang dipandu oleh seorang artis dalam studio privat.

Dalam sebuah pertanyaan, mengenai seputar pandemi covid-19, SFS, melontar-uraikan sebuah pernyataan paradoksal.

SFS mengatakan bahwa pandemi covid-19 adalah virus mutasi buatan laboratorium, bukan mutasi alami!

Serangan Hoaks Kepada Nakes

BREAKING NEWS: Mayat Ditemukan di Sungai Sapanang Jeneponto, Diduga Korban Longsor Rumbia

Singkat SFS mengatakan bahwa publik harus kembali mengingat serangan virus SARS, MERS beberapa tahun yang lalu, adalah merupakan deretan manuver/perang ekonomi politik melalui sektor kesehatan.

Dalam uraian lanjutnya, SFS menimpali bahwa dalang dan lakon semua ini yang sering diterminologi dengan kata ‘konspirasi’ dilakukan oleh WHO yang didalangi oleh kelompok korporatik global berupa industri farmasi.

Tak tanggung-tanggung SFS dengan berani menuding sosok orang kaya dunia: Bill Gates adalah sosok dalang yang paling bertanggung jawab.

Kesendirian berlawan menghadapi raksasa sekelas orang seperti Bill Gates dan organisasi dunia WHO ibarat David versus Goliath.

Epos David versus Goliath, memang secara epik dimenangkan oleh sosok David. Hal ini isyarat langit sebagai pesan moral bagi yang besar dan berkuasa tak selamanya menang terhadap yang kecil nan lemah.

Namun, kisah, atau mungkin bisa disebut sebuah ‘kasus’ bahkan ‘traged’ yang tengah diperjuangkan oleh sosok heroik SFS, sangatlah mengagumkan.

Menggugah nurani siapapun untuk melihat sejenak bahwa epik SFS harus dilihat sebagai kisah/tragedi heroik.

Tidak kalah kagumnya bahwa SFS tidak mempunyai sandaran politik bahkan backing politik yang kuat.

Hal ini seharusnya publik tidak hanya menempatkannya dalam diskursus media atau isu periveral saja.

Tenaga Kesehatan Dirumahkan karena Pengunjung Rumah Sakit Sepi, Ini Reaksi PPNI

Melihatnya harus dengan empati dan kerangka pemikiran kritis. Kesendirian berlawan SFS malah tidak mendapat perhatian oleh para aktifis atau pegiat sosial.

Para aktifis yang justru seharusnya menjadi mainstream dalam perjuangannya melawan kejahatan korporasi.

Sosok berani SFS telah mengangkat belati kecil dan mengibar bendera perlawanan terhadap raksasa kejahatan korporasi.

Publik harus melihat isyarat ini setidak-tidaknya rakyat harus kritis dalam menelaah pandemi Covid-19 sebagai teror canggih bagi publik global.

Kritis Cerdas

Terlepas bahwa publik percaya dengan teori konspirasi atau tidak, diskursus ini tetap menarik dijadikan literasi dalam meng-kacamatai sebuah peristiwa.

Sejarah peradaban umat manusia, konspirasi menjadi sebuah kata kunci untuk menuju sebuah capaian, bisa dalam magna kekuasaan.

Magna kekuasaan tidak dapat artikulasikan hanya sebuah peran politik semata.

Konspirasi juga tidak hanya dapat disimplikasi bahkan diperiveralisasi sinistis. Tapi konspirasi dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, dalam menyikapi situasi yang dilakukan oleh SFS, seyogianya publik harus menilainya dalam konteks empirik-ilmiah.

Dua Desa Dataran Tinggi Gowa Diterjang Longsor

Tidak adil jika menilai peristiwa ini disambut dengan narasi kosong. Perlu kearifan ilmiah yang bertanggung-jawab dalam mengurai dan runut mengurainya.

Agar publik menerimanya secara kritis dan logis.

Jika memang seandainya bahwa apa yang dikatakan oleh SFS menjadi benar adanya, maka tugas pokok publik mengklarifikasinya sesuai dengan kaidah, norma, dan ke-etika-an ilmiah.

Jika metode ini dilakukan, maka pencarian dalam sebuah peristiwa dapat menguak kebenaran hakiki.

Pro dan kontra atas apa dikatakan oleh SFS, pemerintah maupun para elite politik tidak perlu krasak krusuk bagai cacing kepanasan atau bak kebakaran jenggot menilainya.

Sebaiknya diverifikasi dengan bijak, tentunya berbasis ilmiah dan akuntabel.

Akhirnya penulis hanya hendak mengatakan bahwa sosok berani seorang (ibu) SFS adalah ‘suri-langit’ mewakili kritisisme cerdas dan sehat yang makin kabur dinegeri ini.

Topan dahsyat dari SFS ketika beliau mengatakan ; “Jika Anda takut, itulah tujuan mereka, dan ketakutan membuatmu bergantung pada mereka ! Ini adalah bisnis licik global sektor kesehatan”.

Setelah Banjir Bandang, Sampah Warga Bantaeng Bertumpuk di Pinggir Jalan

Layaknya kearifan seorang ibu, beliau sudah menancapkan pedang juang kritisisme.

Apapun yang menghancurkan akal sehat dan pembodohan atas umat manusia, harus dilawan dan diperjuangkan dengan gigih.

Krisis berpikir dan krisis nurani membuat bangsa ini makin terpuruk dan terbelakang. Krisis harus dihapuskan dengan kritisisme.

Menarik untuk mengapresiasi ungkapan arif ibu SFS ; “Saya tidak salah, tapi hanya kalah saja” dalam sebuah konspirasi !. “Logika kebenaran selalu muncul diakhir” (Socrates). (*)

Artikel di atas telah dipublikasikan di halaman Opini koran Tribun Timur edisi cetak Sabtu, 13 Juni 2020

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved